Aku
berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi, hari ini cuacanya sangat panas
bahkan hingga sore hawanya masih terasa. Jam menunjukkan hampir jam 6 sore, aku
masih menunggu beberapa saat sampai tiba sebuah taksi menghampiri tempatku
berdiri, aku segera masuk dan menuju rumah. Setiap sore ba’da ashar dari hari
jum’at-minggu sudah menjadi jadwal rutin bagiku untuk mengajar anak-anak
mengaji di sebuah surau kecil, terletak di perkampungan kumuh yang mayoritas
adalah pemulung dan sebagian bekerja sebagai pedagang kecil. Sudah hampir
setahun aku menjalani rutinitas ini, ditengah kesibukan aktifitas kuliah yang
padat aku selalu menyempatkan waktu agar bisa mengajar mereka, bertemu dan
bercengkrama bersama anak-anak adalah hal yang menyenangkan, ibarat sarana
refresing diantara penatnya jiwa yang lelah akibat hiruk-pikuk urusan dunia.
Tak
terasa taksi yang aku tumpangi telah berhenti didepan rumah, aku turun kemudian
membayar seraya mengucap terima kasih. Kulangkahkan kaki memasuki halaman rumah,
terlihat pintu depan rumah terbuka. Seiring langkah yang kian mendekati pintu,
mataku mencuri-curi pandang kedalam rumah berusaha mencari tau, ternyata sedang
ada seorang tamu. Kulihat abi sedang berbicara dengan seorang laki-laki diruang
tamu, aku mengucapkan salam ketika memasuki rumah. Mataku menatap tamu tersebut
sekilas seraya tersenyum sambil menundukkan kepala menghadapnya, kemudian aku
segera berlalu. Kuhampiri umi yang sedang berada didapur membuatkan minuman
untuk abi dan tamu tersebut, karena penasaran dengan tamu tadi maka aku
bertanya pada umi.
“ Siapa
mi…?”
“Owh…itu Ali anaknya pak Ahmad teman ayah dulu waktu
dipesantren, nanti malam dia akan menjemput ayahnya dan kemungkinan malam ini
mereka akan menginap disini jadi tolong bantu umi ya untuk membersihkan kamar
tamu…”
“Baik umi…”
Umi
berlalu dari hadapanku menuju ruang tamu, aku segera memasuki kamar dan
merebahkan tubuh barang sejenak. Tiba-tiba entah mengapa bayangan tamu yang
kata umi bernama Ali muncul dalam benakku, terbayang wajahnya yang muda… ia
terlihat masih seumuran denganku atau mungkin lebih tua beberapa tahun, matanya
yang hitam dipadukan dengan alis yang tebal dengan hidung mancung wajahnya pun
teduh, tampan. Andai aku boleh menilai dirinya 1-10 aku akan beri dia nilai 9
untuk fisiknya, tapi… apalah artinya fisik yang rupawan jiwa hati tak menawan.
Aku tak mengenalnya bahkan tak tau bagaimana sifat dan hatinya, rasanya tak
pantas aku menilai terlalu cepat, lagipula ia hanya tamu yang menumpang sesaat
disini, aku menghentikan lamunanku.
Malam harinya setelah makan malam aku langsung masuk
kamar, rasa lelah akibat kegiatan yang aku lakukan selama sehari penuh benar-benar
menyita tenaga, tanpa sadar aku tertidur dengan pulasnya. Waktu telah melewati
sepertiga malam, aku terbangun… kulihat jam didinding kamar menunjukkan jam 3
dini hari, aku memutuskan untuk sholat tahajud. Langkah kakiku terhenti ketika
menuju tempat wudhu yang terletak dekat dapur, tepat didepan kamar tamu aku
mendengar sayup-sayup suara… suara yang sebelumnya tak pernah aku dengar. Aku
diam mematung tanpa gerak, rasanya ingin aku berada lebih lama ditempat yang
aku pijak sekarang untuk mendengarkan suara lembut itu. Suara yang mengalun
indah nan merdu menguntai kalam-kalamNya, huruf alif lam hingga ya seakan
melebur menjadi satu dalam pekatnya malam… dalam heningnya suasana yang kian
menambah syahdu. Suara itu… ya suara itu adalah suara Ali yang sedang larut
dalam buaian kasih sayangNya, mungkin ia sedang bermunajat dengan Rabbnya.
Aku
teringat obrolan dengan umi saat makan malam, umi bercerita mengenai Ali. Dari
cerita umi aku mengetahui bahwa ia baru saja pulang ke Indonesia setelah
menamatkan S2 di salah satu Universitas terbaik di Mesir, lulus dengan predikat
yang membanggakan. Umi yang pada saat itu iseng mencoba menggoda dengan berkata
lirih disampingku…
“Dia
juga seorang hafizh lo…kurang apa lagi coba?”
Aku hanya tersenyum meski
sebenarnya ada desir-desir halus yang merasuk ke dalam relung hati tapi aku tak
berani mengungkapkannya. Dan ketika malam ini aku mendengar suara lembutnya
membacakan ayat suci, getar-getar itu seakan hadir kembali. Pesonanya tak pelak
membuat hidupku serasa memiliki warna baru yang indah namun aku lebih memilih
diam, bersembunyi dibalik pesona yang ia punya. Aku terlalu takut untuk sebuah
rasa yang tak dapat aku halau bahkan hingga ia pergi, ketika akhirnya ia pamit
untuk pulang bersama ayahnya… aku masih diam dan memilih menyembunyikannya
rapat dibilik dinding hati.
***
2 tahun kemudian…
Di sebuah toko buku, aku
sedang asik memilih buku yang akan aku beli tiba-tiba terdengar suara dari arah
belakang tak jauh dari tampatku berada.
“Hana..!”
Aku refleks menoleh dan betapa
terkejutnya aku ketika mengetahui siapa yang baru saja memanggil. Wajah itu…
wajah yang sangat melekat di ingatanku, terkadang ia sering hadir dalam
lamunan.
“Ali…”
suaraku tersendat ketika mengucap nama itu.
“Hana apa
kabar?bagaimana keadaan umi dan abi dirumah…?”
“Ehm…Alhamdulillah
sehat” aku masih tergagap, debar jantungku seakan berdetak tanpa aturan.
“Syukurlah,
O ya bagaimana dengan kuliahnya? Kalau
tidak salah sebentar lagi lulus”
“InsyaAllah
bulan depan, tinggal menunggu wisuda. Mohon doanya…”
“Ya..pasti,
kita saling mendoakan” ucapnya sambil tersenyum.
“Maaf saya tidak bisa lama-lama karena harus kekampus
setelah ini, jika ada waktu silahkan mampir kerumah, mungkin umi dan abi akan
senang”
“InsyaAllah kalau ada waktu saya akan mampir ke rumah,
titip salam sama abi dan umi ya…”
Sebelum
kami berpisah Ali sempat meminta nomor handphone, setelah itu aku pun berlalu.
Pertemuan singkat dengan Ali membuat rasa yang hadir 2 tahun silam semakin
enggan pergi dari hati. Seiring waktu berlalu hubungan kami semakin dekat meski
tak pernah bertemu kembali, namun ia sering menghubungi melalui telepon. Selang
dua bulan setelah pertemuan ditoko buku akhirnya ia mengutarakan niatnya.
“Hana… bolehkah saya bertanya?”
“Ya silahkan…”
“Untuk saat ini apakah ada seseorang yang dekat
denganmu?ehm… maksudku apakah kau sudah memiliki calon atau seseorang yang kau
cintai?” terlihat dari nada suaranya ia sangat hati-hati ketika mengucapkannya.
“Seseorang yang aku
cintai? Ya… tentu ada, kau ingin tau? Seseorang itu adalah….” Hatiku mulai berbisik, aku takkan
mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan hatiku, tidak untuk saat ini!
“Jika yang Ali maksud calon suami?saya belum punya…”
jawabku lirih.
“Kalau begitu, menikahlah denganku?! Aku sudah
bicarakan dengan keluarga mengenai masalah ini dan mereka setuju, Jika kau
berkenan secepatnya aku akan datang kepada orang tuamu. Bagaimana…?”,
kata-katanya tegas dan mantap.
Aku terpaku ketika
mendengarnya, waktu seakan berhenti berputar suhu tubuhku kian meningkat
beberapa derajat celcius dan jantungku? Aku merapatkan telapak tangan tepat ke
dada dekat jantung, aku takut ia berhenti berdetak karena bahagia yang
membuncah.
“Hana… kau masih disana?halo…halo…”
“Yaa… aku masih disini”
“Bagaimana… mau kah kamu…???”, sebelum ia selesai
mengucapkan kalimatnya yang sudah menggantung di ujung lidah, aku dengan cepat
menjawabnya.
“Datanglah… aku tunggu kedatanganmu”, akhirnya kata-kata
itu meluncur dari bibirku.
***
Dua minggu sebelum acara pernikahanku
kesibukan semakin tampak dirumah, aku bahkan sudah dilarang umi untuk tidak
sering-sering keluar atau bepergian jauh, namun hari ini adalah jadwalku untuk
mengajar anak-anak mengaji. Aku tak ingin melepas tanggung jawab begitu saja
maka dengan memelas pada umi aku memohon agar diijinkan, karena tak tega
akhirnya umi meluluskan permintaanku. Seusai mengajar seperti biasa aku menunggu
taksi ditempat yang sama, entah mengapa suasana ketika sangat sepi. Tanpa aku
sadari dari arah samping berjalan tiga orang laki-laki berpakaian preman, wajah
mereka sangar dengan tubuh berotot bak algojo. Aku sudah ingin beranjak pergi
untuk menghindari namun kalah cepat, mereka manghadang serta mengelilingi
tubuhku yang kini gemetar karena takut. Salah satu dari mereka menarik tas yang
tergantung di lengan tanganku, aku berusaha mempertahankan sekuat tenaga.
“Serahkan tasnya… kalau tidak kami tidak segan-segan
mencelakaimu!”, akhirnya terjadi tarik-menarik antara aku dengan preman
tersebut. Salah satu temannya berusaha menarik tubuhku agar tas yang aku pegang
terlepas, tubuhku yang lebih kecil dibandingkan mereka akhirnya tersungkur
jatuh, aku berusaha berteriak sekuat tenaga berharap ada yang mendengar dan
menolong.
“Hei… hentikan!!!”, sebuah teriakan terdengar tak jauh
dari tempat kami berada.
Aku menatap laki-laki yang berteriak tadi. Tanpa menunggu aba-aba, laki-laki
tersebut segera menyerang gerombolan preman yang merebut tasku. Mereka terlibat
baku hantam, dimenit pertama laki-laki tersebut masih bisa melawan serangan
yang dilancarkan oleh preman dan kawan-kawannya namun kekuatan yang tak
sebanding 1 lawan 3, membuat laki-laki tersebut kewalahan hingga akhirnya
tendangan yang diarahkan ke perut oleh si preman membuatnya terjengkang,
tubuhnya terlempar mengarah ke jalan dan pada saat itu tepat dari arah samping
melintas mobil.
“Aliiii awaaaaass….!!!!” Teriakku sekuat tenaga.
“BRAAAKKK...”
Seketika itu juga jalan
yang tadinya kering kini telah basah oleh rembesan darah, aku berlari
menghampiri tubuh Ali yang kini tergolek tak berdaya, tak kuhiraukan lagi para
preman yang terburu-buru lari begitu pula mobil yang menabrak Ali, mobil itu
berlalu dengan cepat.
***
Hari ini merupakan
tanggal dimana aku melaksanakan acara pernikahan, menikah dengan orang yang
selama ini telah mengajari aku arti cinta, seorang laki-laki yang kudengar
suaranya ditengah malam buta melantunkan ayat-ayat penuh cinta, yang ketika aku
mendengar namanya membuat hatiku bergetar, laki-laki itu bernama Ali.
Aku masih setia duduk
disampingnya dengan balutan busana putih senada dengan jilbab yang aku kenakan,
orang-orang tampak ramai berdatangan silih berganti. Harum aroma misk menyebar
keseluruh ruangan, entah berasal darimana. Aku menoleh kesamping memandang
wajah Ali yang teduh, ia tersenyum seakan tak ada beban. Uminya Ali menghampiri
seraya memeluk tubuhku.
“Yang sabar ya nak… umi mohon maaf jika Ali ada salah,
relakan kepergiannya dengan ikhlas…”
Aku hanya mampu
mengangguk, sekuat tenaga aku menahan air mata yang seakan siap tumpah. Tidak, aku
tidak ingin menangis dihadapan orang yang aku cintai meski ini terasa begitu
menyakitkan… aku tak ingin melepasnya dengan tetesan air mata. Kembali aku
pandangi wajah Ali, kini matanya telah terpejam tubuhnya kaku tertutup kain
putih namun terlihat ia begitu damai.
“Tuhan… engkau tau bagaimana rasa ini, rasa yang telah
tersimpan sejak pertama kali engkau mempertemukanku dengannya, yang akan ku
ucap ketika ia telah halal untuk aku sentuh… namun ternyata rasa ini tak cukup
besar dibandingkan rasa sayangMu terhadapnya sehingga kau lebih dulu
mengambilnya sebelum aku sempat mengucap kata cinta…”
Setelah
kepergian Ali aku berusaha untuk kuat menjalani sisa hari-hari yang aku miliki,
telah ku relakan kepergiannya karena aku tau inilah yang terbaik. Melihatnya
koma selama hampir 2 minggu pasca tabrakan cukup membuatku tersiksa, hampir
setiap hari aku menjenguknya berharap ia
membuka mata dan sadar namun Tuhan berkehendak lain, tepat pada malam sebelum
hari pernikahanku ia menghembuskan nafas terakhir.
Impian yang dulu pernah hadir tak pernah terwujud seiring
kepergiannya. Aku tak sempat mengucap cinta layaknya Fatimah Az-Zahra yang
mengucap cinta kepada Ali bin Abi Thalib setelah mereka halal dalam ikatan
pernikahan. Sejak dulu aku memendam rasa ini dalam diam dan aku benar-benar
diam hingga hembusan nafas terakhir.
“Cinta bagiku adalah diam, tanpa suara
Yang tak sempat ku ucap lewat kata
Tersimpan disudut hati yang gelap
Yang hanya mampu tersirat lewat tatap...”
(Hana)
Banjarbaru, 6.45 pm
Minggu, 5 Mei 2013