Senin, 16 Juni 2014

LEMBAR PERSEMBAHAN SKRIPSI





In the name of AllaH The Most Gracious The Most Merciful

Kepada Allah SWT saya ucapkan syukur atas nikmat dan karunia yang tak terhingga serta shalawat & salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita nabi besar Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat & pengikut setia beliau hingga kahir zaman. Alhamdulillah segala jerih payah dan perjuangan selama 5 tahun terbayar sudah. Akhirnya saya mengerti bahwa untuk mencapai sesuatu kita harus melalui sebuah proses, dan proses itulah yang mengajarkan saya akan banyak hal. Meski mungkin hasil akhir tak sesuai dengan yang diharapkan tapi saya percaya bahwa Tuhan tak pernah menutup mata atas segala usaha yang telah saya lakukan. Semoga setiap tinta yang telah tergores dengan niat mencari ilmu bernilai pahala disisi-Nya. Sungguh saya merasa sangat beruntung bisa menjadi seorang penuntut ilmu karena tinta para pelajar lebih mulia dibandingkan darah seorang martir, setiap langkah yang ia ayun dengan niat ikhlas mencari ilmu maka malaikat akan melebarkan sayap untuk melindunginya, telah Allah janjikan bahwa ia akan mengangkat derajat bagi orang-orang yang berilmu.
Saya persembahkan karya tulis ini untuk orang-orang yang saya sayangi… kepada seorang wanita luar biasa yang telah mengandung saya selama 9 bulan, merawat, mendidik dan selalu setia menemani di saat-saat tersulit dalam hidup saya, tempat saya membagi suka dan duka… yang tanpa harus saya berkata ia mengetahui apa yang sedang saya rasa… di telapak kakinya lah Allah meletakkan syurga, peluk dan cium selalu untuk mama. Juga untuk seorang laki-laki terhebat yang akan selalu saya sayangi hingga akhir hayat, untuk abah… saya takkan pernah mampu membalas pengorbanan dan segala jerih payah yang abah lakukan.
Izinkan saya mengucapkan terima kasih meski ini tak sebanding dengan apa yang telah mama abah berikan dan lakukan untuk saya, terima kasih atas kesempatan dan izin yang diberikan kepada saya untuk menyelami luas samudera ilmu-Nya, untuk menuntaskan dahaga akan hausnya ilmu. Meski mungkin kalian sanggup memberi saya setumpuk materi, tapi percayalah secuil ilmu yang telah saya peroleh jauh lebih berharga, karena ilmu layaknya pelita di kala gulita… penunjuk arah ketika saya tak tau kemana harus melangkah… menjadi amal jariyah meski saya telah berkalang tanah, ia menjadi benteng ketika dunia sanggup meluluh-lantakkan dan menghancurkan saya… ia menjadi pembeda antara haq dan yang batil. Saya tak bisa janjikan apa-apa kepada mama abah tapi semoga ketika saya nanti telah memakai toga… semoga ada seulas senyum yang mampu saya ukir di wajah kalian dan juga diwajah orang-orang yang saya sayangi… semoga dengan ilmu ini Allah berkenan mengangkat derajat saya dan orang-orang disekitar saya.
Kepada kakak Putra & kakak Jannah, ading Novi & ading Fikri yang lucu, acil & paman, nini kai, seluruh keluarga besar serta sahabat-sahabat saya…. Terima kasih atas dukungan, doa, motivasi dan semangatnya. Untuk teman – teman saya para ENVIR0N8R’S (Teknik Lingkungan 08) teman seperjuangan selama di kampus, 4 tahun lebih bersama kalian  telah banyak memberi warna dalam kehidupan saya.  Buat Nidya, ka Rahma dan Icha, makasih sudah menemani saya sampai akhir…. buat Mei (Zakhrof) Rini Amel nadia dan semua yang sering bantuian saya ngerjain tugas hehehe… Makasih juga buat kalian *Peluk satu-satuJ… semoga kesuksesan selalu bersama kita dimanapun kita berada. Teman-teman dan kakak-kakak di kost Alamanda yang saya sayangi, kalian tidak hanya sekedar teman, sahabat tapi telah menjadi keluarga kedua bagi saya, terima kasih untuk kebersamaan kita selama ini. Terima kasih untuk para guru-guru dan dosen-dosen yang telah berkenan menyambungkan ilmunya kepada saya, semoga ilmu ini dapat saya amalkan hingga membawa berkah serta kebaikan bagi agama, bangsa & negara ini.
Rasa lelah yang kadang hadir diperjalanan yang telah saya lalui, tak lantas menyurutkan niat saya untuk terus  menuntut ilmu, semakin saya belajar semakin saya merasa bodoh, semakin saya merasa betapa maha besarnya sang pencipta… betapa kecilnya saya, maka rasanya tak pantas jika saya menyombongkan diri dengan apa yang saya peroleh sekarang, tak ada yang patut dibanggakan. Di akhir  tulisan ini saya kutip sebuah kalam-Nya dan sebuah hadist, yang dengan setia telah terpampang di dinding kamar saya sejak awal semester hingga akhir… menjadi penyemangat dikala saya berada di titik terendah… saat saya merasa begitu lelah. Dan ada sebuah kalimat dari seorang syeikh yang ketika saya membacanya membuat saya tertegun dan menyadari betapa berharganya ilmu.

“ Sesungguhnya hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”
(Q.S Az-Zumar : 10)

“ Dan barangsiapa menempuh satu jalan untuk mendapatkan ilmu, maka Allah mudahkan baginya jalan menuju syurga”
(H.R Muslim)

“ Wahai anakku… jika saja Allah meletakkan kemuliaan dan keagungan pada tukang sapu, niscaya aku pasti menyuruhmu menjadi tukang sapu. Akan tetapi Allah SWT meletakkan kemuliaan & keagungan dalam ilmu, maka carilah sekuat tenagamu karena ilmu menolongmu disaat dunia meremukkanmu dan ilmu melindungimu disaat dunia mencelakaimu”
(Prof. Dr As syahid syeikh Muhammad Said Ramadhan Al-Bouty)

Izinkan saya mengatakan bahwa saya telah mengecap manisnya ilmu dalam pahitnya sebuah proses, segala rasa lelah dan semangat… juga tawa dan airmata yang datang silih berganti menjadi warna dalam perjuangan ini. Betapapun pahitnya sebuah proses, tapi dengannya saya belajar dan memahami banyak hal. Terima kasih atas segala kemudahan yang Allah berikan juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Dengan segala syukur yang tak terhingga serta bahagia yang membuncah, saya hanya bisa mungucapkan hamdalah.


All the praises and thanks be to Allâh, the Lord of the 'Alamîn…

Untuk laki-laki yang kusebut “Abah”



 Usianya kini telah hampir mencapai 60 tahun dengan perawakan tinggi kurus, sifatnya yang penyabar dan ramah membuat ia terlihat awet muda. Profesinya sebagai seorang guru telah ia jalani selama berpuluh-puluh tahun dan menuntutnya untuk belajar apa saja karena guru pada jaman dahulu tentu berbeda dengan jaman sekarang, ia pernah mengajar berbagai mata pelajaran mulai dari biologi sampai bahasa inggris. Banyak sifat-sifat yang telah ia turunkan kepada anak perempuannya. Sosok yang hingga kini selalu mengalirkan kasih sayangnya kepada saya, yang telah banyak mengajarkan segala hal…tidak hanya melalui lisan tapi juga tindakan, darinya saya belajar arti sabar… seorang laki-laki yang akan selalu saya sayangi dan takkan pernah saya lupakan seumur hidup. Setiap tetesan keringat yang ia kucurkan untuk menghidupi keluarga membuat saya bertekad agar bisa membuatnya bangga, tidak hanya di dunia tapi juga di akhirat. Telah saya patri di hati yang paling dalam bahwa kelak akan saya persembahkan mahkota kemuliaan untuk beliau (InsyaAllah…). Laki-laki itu menjadi sebab keberadaan saya di dunia, ia menjadi saksi perjalanan hidup saya hingga saat ini. Dialah seseorang yang biasanya saya panggil dengan sebutan “Abah”.
Terlalu banyak yang telah abah wariskan kepada saya mulai dari ciri-ciri fisik, sifat bahkan sampai dengan hal-hal yang disukai. Berbagai buku yang ia miliki menunjukkan beliau suka membaca dan ini salah satu yang diturunkan kepada saya. Deretan buku yang tersusun rapi tak jarang menjadi berantakan karena saya bongkar, jika satu buku selesai dibaca maka tak sabar saya ingin membaca buku lainnya, akhirnya satu per satu buku berpindah posisi yang tadinya di rak menjadi tak tau kemana J. Mulai dari majalah intisari berbagai edisi, majalah pendidikan, cerita detektif sampai buku pelajaran semuanya habis saya lahap.
Mengenang masa kecil bersama abah selalu membuat saya tersenyum, kami pernah menanam ubi bersama di samping rumah dan ketika abah yang sedang mencangkul menemukan cacing atau ulat, beliau akan menantangku untuk memegangnya.
“Noh…pegang berani nggak?” ucapnya seraya menantangku.
Saya yang pada dasarnya memiliki sifat pantang mengalah jika ditantang akan diam sejenak, lalu dengan keberanian yang ada walaupun sebenarnya ada rasa takut berusaha untuk memegang makhluk yang terlihat menjijikkan. Dari kejadian-kejadian seperti itu saya belajar bagaimana menjadi seseorang yang pemberani.
            Abah yang dulu cukup lama hidup sendiri sebagai bujangan membuat beliau bisa memasak dan sampai sekarang masih suka bikin kue atau cemilan seperti keripik, tapi yang bagian ini sepertinya tidak diwariskan kepada saya hahahaa…:-D.
Selain suka bercocok tanam beliau juga sangat jago bermain catur, tak heran jika saya dan kakak dari sejak kecil sudah lihai memainkan bidak catur. Meski tak tau secara mendalam berbagai teknik permainan catur, yang saya tau bagaimana caranya menghentikan langkah si “king” agar tak berkutik, skak matt! Jika sudah seperti itu saya akan tersenyum penuh kemenangan kepada lawan. Kakak yang biasanya memang lebih sering menang ketimbang saya, akan mati-matian menghindar dari kekalahan jika saya berhasil me-skak matt-nya. Ada saja alasan yang dia buat, mulai dari alasan mau ke WC, sakit perut sampai bidak yang akhirnya di obrak-abrik (please don’t try at home ya…ini curang namanya! Hiks…).
            Seiring waktu berlalu, saya kini yang kian beranjak dewasa dengan segala usaha untuk meraih mimpi dan cita-cita sering melupakan beliau…tak ku sadari gurat-gurat tua yang hari demi hari nampak jelas di wajahnya. Ingin saya habiskan lebih banyak waktu bersamanya seperti waktu kecil, tapi selalu saja ada yang menghalangi…Ah saya terlalu banyak alasan! Sejauh apapun saya dari rumah, abah pasti selalu menanti saya untuk pulang.
            Entah dengan apa saya sanggup membalas pengorbanannya, rasa lelahnya, tetes demi tetes keringatnya, kasih sayangnya… semua yang abah beri dan ajarkan akan selalu membekas disini, dihati. Abah yang dulu pernah bersusah payah mencarikan obat dari satu apotik ke apotik lain, yang bersusah payah membiayai ketika saya masuk Rumah Sakit, yang selalu setia mengantarkan saya check up… yang selalu berusaha memenuhi permintaanku ketika saya sakit sejauh apapun jarak yang harus ditempuh…semua yang kau lakukan takkan mungkin dapat saya balas.
            Jika seluruh kata ungkapan sayang dan cinta dikumpulkan jadi satu, semuanya takkan sanggup mewakilkan rasa yang ada dihatiku terhadap abah… Jika satu kalimat yang dapat menggambarkan perasaanku maka itu adalah “Aku sangat bersyukur Allah telah titipkan aku kepada orang seperti abah”… dan jika hanya boleh berucap tiga kata maka akan ku katakan “Putri sayang Abah!”
Saya memang tidak dapat memilih pada siapa saya dilahirkan dan bagaimana orang tua saya, tapi saya dapat memilih untuk menjadi anak yang baik & berbakti atau tidak. Allah…izinkan aku menjadi anak yang shalihah bagi kedua orang tuaku agar kelak dapat menjadi tangguhan di hadapan-Mu agar dapat membawa mereka bersama-sama berkumpul di indahnya jannah-Mu yang abadi.

Note: Selesai dengan kucuran air mata yang kian deras dipenghujung kata.
            Banjarbaru, 28 Feb 2013
            10.00 pm
           

Tentang Sebuah Hati



 “Aku kagum padamu…” ucap seorang laki-laki.
“kenapa?”
“karena kau berbeda, kau punya cita-cita yang mulia…”
“Betulkah seperti itu, apakah benar aku sebaik yang kau kira…” batinku berbisik.
Aku masih tunduk dalam diam, mencerna setiap kata yang kudengar. Aku takut jika rasa kagumnya dan segala prasangka baik terhadap diriku ternyata tak sesuai dengan kenyataan. Mungkin aku tak sebaik seperti yang kau kira.
“Aku menyukaimu…” ucapnya lirih.
“Lalu bagaimana dengan perempuan itu? Seseorang yang pernah menjadi bagian dari perjalanan cintamu, yang kini masih berharap kau mau menerimanya kembali…?”
Aku tau perempuan itu masih suka menghubunginya dan ingin menjalin tali kasih seperti dulu lagi.
“Sudah lama perasaan itu hilang, semenjak ia lebih memilih mencaci maki daripada berusaha mengerti keadaanku…aku lelah, itu kenapa aku memutuskannya”
“Tapi kenapa kau memilih diam ketika dia mengirimimu pesan…? Ketika dia masih berharap padamu? kenapa tak berusaha jujur tentang keadaan sekarang…?”
“Aku hanya tak ingin menyakitinya, biarkan saja seiring berjalannya waktu…semoga ada laki-laki lain yang datang menghampirinya hingga ia dapat melupakanku”
Aku terhenyak… tak ada yang salah dari perkataannya bahkan terkesan baik, ia hanya tak ingin melukai hati perempuan itu. Tapi…tak dapatkah kau jelaskan padanya tentang hatimu yang telah tertaut pada sosok lain, sosok yang kau katakan telah membuatmu kagum...yang ternyata juga diam-diam menyimpan rasa suka.
Ah…aku sadar, aku masih bukan siapa-siapa baginya… tak pantas jika aku menuntut terlalu banyak. Aku berusaha mengerti dan menempatkan posisiku jika seandainya berada di posisi wanita itu tentu aku juga tak ingin merasakan sakit lagi. Entah sampai kapan kamu memilih diam dengan alasan tak ingin melukai hatinya…dan, bagaimana mungkin aku sanggup bertahan dengan semua ini padahal aku juga punya segumpal daging bernama hati.
Mungkin kamu lupa bahwa aku juga wanita…bahwa aku juga punya hati…sama seperti dia, yang kau jaga hatinya.
Jika diammu untuk tak melukai satu hati…maka biarkan aku memilih diam dengan goresan-goresan luka yang akan kusimpaan sendiri.

Banjarbaru, 7 Maret 2013
4.30 pm





Silent



Aku berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi, hari ini cuacanya sangat panas bahkan hingga sore hawanya masih terasa. Jam menunjukkan hampir jam 6 sore, aku masih menunggu beberapa saat sampai tiba sebuah taksi menghampiri tempatku berdiri, aku segera masuk dan menuju rumah. Setiap sore ba’da ashar dari hari jum’at-minggu sudah menjadi jadwal rutin bagiku untuk mengajar anak-anak mengaji di sebuah surau kecil, terletak di perkampungan kumuh yang mayoritas adalah pemulung dan sebagian bekerja sebagai pedagang kecil. Sudah hampir setahun aku menjalani rutinitas ini, ditengah kesibukan aktifitas kuliah yang padat aku selalu menyempatkan waktu agar bisa mengajar mereka, bertemu dan bercengkrama bersama anak-anak adalah hal yang menyenangkan, ibarat sarana refresing diantara penatnya jiwa yang lelah akibat hiruk-pikuk urusan dunia.

Tak terasa taksi yang aku tumpangi telah berhenti didepan rumah, aku turun kemudian membayar seraya mengucap terima kasih. Kulangkahkan kaki memasuki halaman rumah, terlihat pintu depan rumah terbuka. Seiring langkah yang kian mendekati pintu, mataku mencuri-curi pandang kedalam rumah berusaha mencari tau, ternyata sedang ada seorang tamu. Kulihat abi sedang berbicara dengan seorang laki-laki diruang tamu, aku mengucapkan salam ketika memasuki rumah. Mataku menatap tamu tersebut sekilas seraya tersenyum sambil menundukkan kepala menghadapnya, kemudian aku segera berlalu. Kuhampiri umi yang sedang berada didapur membuatkan minuman untuk abi dan tamu tersebut, karena penasaran dengan tamu tadi maka aku bertanya pada umi.
“ Siapa mi…?”
“Owh…itu Ali anaknya pak Ahmad teman ayah dulu waktu dipesantren, nanti malam dia akan menjemput ayahnya dan kemungkinan malam ini mereka akan menginap disini jadi tolong bantu umi ya untuk membersihkan kamar tamu…”
“Baik umi…”

Umi berlalu dari hadapanku menuju ruang tamu, aku segera memasuki kamar dan merebahkan tubuh barang sejenak. Tiba-tiba entah mengapa bayangan tamu yang kata umi bernama Ali muncul dalam benakku, terbayang wajahnya yang muda… ia terlihat masih seumuran denganku atau mungkin lebih tua beberapa tahun, matanya yang hitam dipadukan dengan alis yang tebal dengan hidung mancung wajahnya pun teduh, tampan. Andai aku boleh menilai dirinya 1-10 aku akan beri dia nilai 9 untuk fisiknya, tapi… apalah artinya fisik yang rupawan jiwa hati tak menawan. Aku tak mengenalnya bahkan tak tau bagaimana sifat dan hatinya, rasanya tak pantas aku menilai terlalu cepat, lagipula ia hanya tamu yang menumpang sesaat disini, aku menghentikan lamunanku.
            Malam harinya setelah makan malam aku langsung masuk kamar, rasa lelah akibat kegiatan yang aku lakukan selama sehari penuh benar-benar menyita tenaga, tanpa sadar aku tertidur dengan pulasnya. Waktu telah melewati sepertiga malam, aku terbangun… kulihat jam didinding kamar menunjukkan jam 3 dini hari, aku memutuskan untuk sholat tahajud. Langkah kakiku terhenti ketika menuju tempat wudhu yang terletak dekat dapur, tepat didepan kamar tamu aku mendengar sayup-sayup suara… suara yang sebelumnya tak pernah aku dengar. Aku diam mematung tanpa gerak, rasanya ingin aku berada lebih lama ditempat yang aku pijak sekarang untuk mendengarkan suara lembut itu. Suara yang mengalun indah nan merdu menguntai kalam-kalamNya, huruf alif lam hingga ya seakan melebur menjadi satu dalam pekatnya malam… dalam heningnya suasana yang kian menambah syahdu. Suara itu… ya suara itu adalah suara Ali yang sedang larut dalam buaian kasih sayangNya, mungkin ia sedang bermunajat dengan Rabbnya.
Aku teringat obrolan dengan umi saat makan malam, umi bercerita mengenai Ali. Dari cerita umi aku mengetahui bahwa ia baru saja pulang ke Indonesia setelah menamatkan S2 di salah satu Universitas terbaik di Mesir, lulus dengan predikat yang membanggakan. Umi yang pada saat itu iseng mencoba menggoda dengan berkata lirih disampingku…
“Dia juga seorang hafizh lo…kurang apa lagi coba?”
Aku hanya tersenyum meski sebenarnya ada desir-desir halus yang merasuk ke dalam relung hati tapi aku tak berani mengungkapkannya. Dan ketika malam ini aku mendengar suara lembutnya membacakan ayat suci, getar-getar itu seakan hadir kembali. Pesonanya tak pelak membuat hidupku serasa memiliki warna baru yang indah namun aku lebih memilih diam, bersembunyi dibalik pesona yang ia punya. Aku terlalu takut untuk sebuah rasa yang tak dapat aku halau bahkan hingga ia pergi, ketika akhirnya ia pamit untuk pulang bersama ayahnya… aku masih diam dan memilih menyembunyikannya rapat dibilik dinding hati.
***
2 tahun kemudian…
Di sebuah toko buku, aku sedang asik memilih buku yang akan aku beli tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang tak jauh dari tampatku berada.
“Hana..!”
Aku refleks menoleh dan betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa yang baru saja memanggil. Wajah itu… wajah yang sangat melekat di ingatanku, terkadang ia sering hadir dalam lamunan.
“Ali…” suaraku tersendat ketika mengucap nama itu.
“Hana apa kabar?bagaimana keadaan umi dan abi dirumah…?”
“Ehm…Alhamdulillah sehat” aku masih tergagap, debar jantungku seakan berdetak tanpa aturan.
“Syukurlah, O ya bagaimana  dengan kuliahnya? Kalau tidak salah sebentar lagi lulus”
“InsyaAllah bulan depan, tinggal menunggu wisuda. Mohon doanya…”
“Ya..pasti, kita saling mendoakan” ucapnya sambil tersenyum.
“Maaf saya tidak bisa lama-lama karena harus kekampus setelah ini, jika ada waktu silahkan mampir kerumah, mungkin umi dan abi akan senang”
“InsyaAllah kalau ada waktu saya akan mampir ke rumah, titip salam sama abi dan umi ya…”
Sebelum kami berpisah Ali sempat meminta nomor handphone, setelah itu aku pun berlalu. Pertemuan singkat dengan Ali membuat rasa yang hadir 2 tahun silam semakin enggan pergi dari hati. Seiring waktu berlalu hubungan kami semakin dekat meski tak pernah bertemu kembali, namun ia sering menghubungi melalui telepon. Selang dua bulan setelah pertemuan ditoko buku akhirnya ia mengutarakan niatnya.
            “Hana… bolehkah saya bertanya?”
            “Ya silahkan…”
“Untuk saat ini apakah ada seseorang yang dekat denganmu?ehm… maksudku apakah kau sudah memiliki calon atau seseorang yang kau cintai?” terlihat dari nada suaranya ia sangat hati-hati ketika mengucapkannya.
“Seseorang yang aku cintai? Ya… tentu ada, kau ingin tau? Seseorang itu adalah….” Hatiku mulai berbisik, aku takkan mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan hatiku, tidak untuk saat ini!
            “Jika yang Ali maksud calon suami?saya belum punya…” jawabku lirih.
“Kalau begitu, menikahlah denganku?! Aku sudah bicarakan dengan keluarga mengenai masalah ini dan mereka setuju, Jika kau berkenan secepatnya aku akan datang kepada orang tuamu. Bagaimana…?”, kata-katanya tegas dan mantap.
Aku terpaku ketika mendengarnya, waktu seakan berhenti berputar suhu tubuhku kian meningkat beberapa derajat celcius dan jantungku? Aku merapatkan telapak tangan tepat ke dada dekat jantung, aku takut ia berhenti berdetak karena bahagia yang membuncah.
            “Hana… kau masih disana?halo…halo…”
            “Yaa… aku masih disini”
            “Bagaimana… mau kah kamu…???”, sebelum ia selesai mengucapkan kalimatnya yang sudah menggantung di ujung lidah, aku dengan cepat menjawabnya.
            “Datanglah… aku tunggu kedatanganmu”, akhirnya kata-kata itu meluncur dari bibirku.



***
Dua minggu sebelum acara pernikahanku kesibukan semakin tampak dirumah, aku bahkan sudah dilarang umi untuk tidak sering-sering keluar atau bepergian jauh, namun hari ini adalah jadwalku untuk mengajar anak-anak mengaji. Aku tak ingin melepas tanggung jawab begitu saja maka dengan memelas pada umi aku memohon agar diijinkan, karena tak tega akhirnya umi meluluskan permintaanku. Seusai mengajar seperti biasa aku menunggu taksi ditempat yang sama, entah mengapa suasana ketika sangat sepi. Tanpa aku sadari dari arah samping berjalan tiga orang laki-laki berpakaian preman, wajah mereka sangar dengan tubuh berotot bak algojo. Aku sudah ingin beranjak pergi untuk menghindari namun kalah cepat, mereka manghadang serta mengelilingi tubuhku yang kini gemetar karena takut. Salah satu dari mereka menarik tas yang tergantung di lengan tanganku, aku berusaha mempertahankan sekuat tenaga.
            “Serahkan tasnya… kalau tidak kami tidak segan-segan mencelakaimu!”, akhirnya terjadi tarik-menarik antara aku dengan preman tersebut. Salah satu temannya berusaha menarik tubuhku agar tas yang aku pegang terlepas, tubuhku yang lebih kecil dibandingkan mereka akhirnya tersungkur jatuh, aku berusaha berteriak sekuat tenaga berharap ada yang mendengar dan menolong.
            “Hei… hentikan!!!”, sebuah teriakan terdengar tak jauh dari tempat kami berada.
 Aku menatap laki-laki yang berteriak  tadi. Tanpa menunggu aba-aba, laki-laki tersebut segera menyerang gerombolan preman yang merebut tasku. Mereka terlibat baku hantam, dimenit pertama laki-laki tersebut masih bisa melawan serangan yang dilancarkan oleh preman dan kawan-kawannya namun kekuatan yang tak sebanding 1 lawan 3, membuat laki-laki tersebut kewalahan hingga akhirnya tendangan yang diarahkan ke perut oleh si preman membuatnya terjengkang, tubuhnya terlempar mengarah ke jalan dan pada saat itu tepat dari arah samping melintas mobil.
            “Aliiii awaaaaass….!!!!” Teriakku sekuat tenaga.
            “BRAAAKKK...”
Seketika itu juga jalan yang tadinya kering kini telah basah oleh rembesan darah, aku berlari menghampiri tubuh Ali yang kini tergolek tak berdaya, tak kuhiraukan lagi para preman yang terburu-buru lari begitu pula mobil yang menabrak Ali, mobil itu berlalu dengan cepat.
***
Hari ini merupakan tanggal dimana aku melaksanakan acara pernikahan, menikah dengan orang yang selama ini telah mengajari aku arti cinta, seorang laki-laki yang kudengar suaranya ditengah malam buta melantunkan ayat-ayat penuh cinta, yang ketika aku mendengar namanya membuat hatiku bergetar, laki-laki itu bernama Ali.
Aku masih setia duduk disampingnya dengan balutan busana putih senada dengan jilbab yang aku kenakan, orang-orang tampak ramai berdatangan silih berganti. Harum aroma misk menyebar keseluruh ruangan, entah berasal darimana. Aku menoleh kesamping memandang wajah Ali yang teduh, ia tersenyum seakan tak ada beban. Uminya Ali menghampiri seraya memeluk tubuhku.
“Yang sabar ya nak… umi mohon maaf jika Ali ada salah, relakan kepergiannya dengan ikhlas…”
Aku hanya mampu mengangguk, sekuat tenaga aku menahan air mata yang seakan siap tumpah. Tidak, aku tidak ingin menangis dihadapan orang yang aku cintai meski ini terasa begitu menyakitkan… aku tak ingin melepasnya dengan tetesan air mata. Kembali aku pandangi wajah Ali, kini matanya telah terpejam tubuhnya kaku tertutup kain putih namun terlihat ia begitu damai.
“Tuhan… engkau tau bagaimana rasa ini, rasa yang telah tersimpan sejak pertama kali engkau mempertemukanku dengannya, yang akan ku ucap ketika ia telah halal untuk aku sentuh… namun ternyata rasa ini tak cukup besar dibandingkan rasa sayangMu terhadapnya sehingga kau lebih dulu mengambilnya sebelum aku sempat mengucap kata cinta…”

Setelah kepergian Ali aku berusaha untuk kuat menjalani sisa hari-hari yang aku miliki, telah ku relakan kepergiannya karena aku tau inilah yang terbaik. Melihatnya koma selama hampir 2 minggu pasca tabrakan cukup membuatku tersiksa, hampir setiap hari aku menjenguknya  berharap ia membuka mata dan sadar namun Tuhan berkehendak lain, tepat pada malam sebelum hari pernikahanku ia menghembuskan nafas terakhir.
            Impian yang dulu pernah hadir tak pernah terwujud seiring kepergiannya. Aku tak sempat mengucap cinta layaknya Fatimah Az-Zahra yang mengucap cinta kepada Ali bin Abi Thalib setelah mereka halal dalam ikatan pernikahan. Sejak dulu aku memendam rasa ini dalam diam dan aku benar-benar diam hingga hembusan nafas terakhir.

“Cinta bagiku adalah diam, tanpa suara
Yang tak sempat ku ucap lewat kata
Tersimpan disudut hati yang gelap
Yang hanya mampu tersirat lewat tatap...”
 (Hana)

Banjarbaru, 6.45 pm
Minggu, 5 Mei 2013