Selasa, 19 Agustus 2014

PEREMPUAN VENTILASI




Sejak ayah memutuskan mengganti tempat tidur kami yang terdahulu dengan ranjang tingkat, aku dan kakak sempat bertengkar saat pertama kali harus memutuskan siapa yang tidur di bawah dan siapa yang di atas. Kami berebut tempat, keras sama-sama ingin tidur diranjang atas, namun akhirnya kakak mengalah. Setelah beberapa lama, aku menyadari bahwa tidur diranjang atas tidaklah nyaman, bukan karena tempatnya yang bermasalah namun karena setiap kali aku mengantuk dan ingin tidur, aku terlebih dahulu harus naik tangga agar bisa sampai ke ranjang atas. Aku kadang merutuk dan sedikit menyesal, namun disuatu masa tempat tidur yang kini kusesali justru akan membuatku sangat bersyukur.
Seringkali aku menatap langit-langit kamar yang kian dekat dengan pandanganku, setiap malam aku bisa merasakan angin dingin yang berhembus lewat ventilasi udara. Entah mengapa selain hujan, aku juga menyukai hawa dingin di malam hari. Karena jarak tempat tidurku yang lumayan tinggi, dan berdekatan dengan vintilasi, aku jadi memiliki kebiasaan mengintip keadaan diluar atau jalan didepan rumah melalui lubang udara tersebut.
Sudah menjadi hal yang biasa jika dijalan depan rumahku menjadi ramai oleh anak-anak yang berangkat sekolah, dari yang masih TK hingga SMP. Awalnya tak ada yang menarik perhatianku dari mereka, hingga suatu ketika disebuah acara Pramuka yang diadakan sekolah mempertemukanku dengan sosok anak laki-laki jangkung berwajah manis. Kebiasaanku mengintip semakin menjadi-jadi, hampir setiap pagi aku duduk diranjang atas dekat ventilasi sambil melemparkan pandanganku jauh kejalan depan rumah, mengamati satu per satu orang yang lewat. Aku merelakan jam berangkat sekolahku telat beberapa menit hanya untuk menunggu satu sosok yang tak kuketahui namanya.
Senyuman merekah saat pandanganku menangkap anak laki-laki jangkung berwajah manis, tak sulit bagiku mengenalimu. Postur tubuhmu yang tinggi memudahkanku untuk menatapmu lebih jelas, Aku tersenyum-senyum kecil melihatmu menuntun sepeda ontel. Wajahmu, sepeda ontel dan kesederhanaan yang kamu miliki adalah kombinasi unik yang mampu membuatku selalu menantimu disetiap pagi. Aku tak habis pikir, dimasa itu mengapa kau tak malu mengendarai sepeda ontel saat teman-teman sebayamu telah menggunakan sepeda merk “Polygon”.
Di ranjang tingkat atas, melalui ventilasi kamar aku merekam jejak langkah yang kau buat, menyimpan seulas senyuman manis saat kau bercengkrama bersama teman-temanmu, aku seperti turut hanyut saat kau tertawa ataupun saat kau kelelahan mengayuh sepeda.
Bukannya aku tak tahu malu, mengintip seorang laki-laki yang lewat depan rumah, justru karena malu itu masih ada sehingga aku harus diam-diam melakukannya agar tidak ketahuan oleh kakak. Pernah suatu kali, kakak mendapatiku tengah asik sedang tersenyum sembari menatap ke jalan, dengan cepat ia segera mengerti apa yang membuat adiknya betah berlama-lama dekat ventilasi, tanpa perlu dikomando ia meledekku habis-habisan.
 Sejak itu, selalu ada pertaruhan antara rasa ingin dan malu dalam diriku, aku tak dapat menahan perasaan untuk melihatnya meski hanya sesaat ketika dia lewat depan rumah tapi aku juga malu kepada kakak, karena baginya aku melakukan hal yang bodoh sehingga ia dapat menjadikan sebagai bahan ejekan.
Aku masih terlalu belia untuk mengenal tentang sebuah perasaan yang sedang kurasakan saat itu, yang kutahu aku bahagia. Bagiku, tidak ada yang dapat menggantikan lubang kecil bernama ventilasi, tidak pula jendela, pintu atau tempat apapun yang menyediakan ruang lebih luas untuk aku menatapnya. Tempat yang lapang tidak selalu memberi kita kenyamanan bukan? Maka, aku memilih untuk menikmati setiap senyumnya dipagi hari melalui sudut itu, yang menyediakan sebuah lubang kecil yang hanya mampu menampakkan sepasang mataku dari luar.
Aku masih menyimpan sebuah senyuman manis dengan bias cahaya pagi yang hangat, meski telah sepuluh tahun berlalu sejak kejadian itu. Tak pernah aku ingin mengganggunya dengan menampakkan diriku, aku bisa saja muncul di pintu rumah sembari mengeraskan suara mengucapkan “Hei” agar dia menoleh, aku pikir ini ide gila. Tapi tidak, aku memilih membiarkannya melewati jalan depan rumah tanpa pernah mengetahui ada yang menantikannya setiap pagi dengan perasaan penuh harap, ada sepasang mata yang berbinar menyaksikan wajahnya, bahwa ada seseorang yang merelakan sebagian waktunya pergi begitu saja hanya untuk menunggunya. Seorang perempuan kecil yang tak memahami arti sebuah perasaan, merasa cukup hanya dengan duduk disudut kamar dekat ventilasi udara.