Sejak ayah memutuskan mengganti tempat tidur kami yang
terdahulu dengan ranjang tingkat, aku dan kakak sempat bertengkar saat pertama
kali harus memutuskan siapa yang tidur di bawah dan siapa yang di atas. Kami
berebut tempat, keras sama-sama ingin tidur diranjang atas, namun akhirnya
kakak mengalah. Setelah beberapa lama, aku menyadari bahwa tidur diranjang atas
tidaklah nyaman, bukan karena tempatnya yang bermasalah namun karena setiap
kali aku mengantuk dan ingin tidur, aku terlebih dahulu harus naik tangga agar
bisa sampai ke ranjang atas. Aku kadang merutuk dan sedikit menyesal, namun
disuatu masa tempat tidur yang kini kusesali justru akan membuatku sangat
bersyukur.
Seringkali aku menatap langit-langit kamar yang kian dekat
dengan pandanganku, setiap malam aku bisa merasakan angin dingin yang berhembus
lewat ventilasi udara. Entah mengapa selain hujan, aku juga menyukai hawa
dingin di malam hari. Karena jarak tempat tidurku yang lumayan tinggi, dan
berdekatan dengan vintilasi, aku jadi memiliki kebiasaan mengintip keadaan
diluar atau jalan didepan rumah melalui lubang udara tersebut.
Sudah menjadi hal yang biasa jika dijalan depan rumahku
menjadi ramai oleh anak-anak yang berangkat sekolah, dari yang masih TK hingga
SMP. Awalnya tak ada yang menarik perhatianku dari mereka, hingga suatu ketika
disebuah acara Pramuka yang diadakan sekolah mempertemukanku dengan sosok anak
laki-laki jangkung berwajah manis. Kebiasaanku mengintip semakin menjadi-jadi,
hampir setiap pagi aku duduk diranjang atas dekat ventilasi sambil melemparkan
pandanganku jauh kejalan depan rumah, mengamati satu per satu orang yang lewat.
Aku merelakan jam berangkat sekolahku telat beberapa menit hanya untuk menunggu
satu sosok yang tak kuketahui namanya.
Senyuman
merekah saat pandanganku menangkap anak laki-laki jangkung berwajah manis, tak
sulit bagiku mengenalimu. Postur tubuhmu yang tinggi memudahkanku untuk
menatapmu lebih jelas, Aku tersenyum-senyum kecil melihatmu menuntun sepeda
ontel. Wajahmu, sepeda ontel dan kesederhanaan yang kamu miliki adalah
kombinasi unik yang mampu membuatku selalu menantimu disetiap pagi. Aku tak
habis pikir, dimasa itu mengapa kau tak malu mengendarai sepeda ontel saat
teman-teman sebayamu telah menggunakan sepeda merk “Polygon”.
Di
ranjang tingkat atas, melalui ventilasi kamar aku merekam jejak langkah yang
kau buat, menyimpan seulas senyuman manis saat kau bercengkrama bersama
teman-temanmu, aku seperti turut hanyut saat kau tertawa ataupun saat kau
kelelahan mengayuh sepeda.
Bukannya
aku tak tahu malu, mengintip seorang laki-laki yang lewat depan rumah, justru
karena malu itu masih ada sehingga aku harus diam-diam melakukannya agar tidak
ketahuan oleh kakak. Pernah suatu kali, kakak mendapatiku tengah asik sedang
tersenyum sembari menatap ke jalan, dengan cepat ia segera mengerti apa yang
membuat adiknya betah berlama-lama dekat ventilasi, tanpa perlu dikomando ia
meledekku habis-habisan.
Sejak itu, selalu ada pertaruhan antara rasa
ingin dan malu dalam diriku, aku tak dapat menahan perasaan untuk melihatnya
meski hanya sesaat ketika dia lewat depan rumah tapi aku juga malu kepada
kakak, karena baginya aku melakukan hal yang bodoh sehingga ia dapat menjadikan
sebagai bahan ejekan.
Aku
masih terlalu belia untuk mengenal tentang sebuah perasaan yang sedang
kurasakan saat itu, yang kutahu aku bahagia. Bagiku, tidak ada yang dapat
menggantikan lubang kecil bernama ventilasi, tidak pula jendela, pintu atau
tempat apapun yang menyediakan ruang lebih luas untuk aku menatapnya. Tempat yang
lapang tidak selalu memberi kita kenyamanan bukan? Maka, aku memilih untuk
menikmati setiap senyumnya dipagi hari melalui sudut itu, yang menyediakan
sebuah lubang kecil yang hanya mampu menampakkan sepasang mataku dari luar.
Aku
masih menyimpan sebuah senyuman manis dengan bias cahaya pagi yang hangat,
meski telah sepuluh tahun berlalu sejak kejadian itu. Tak pernah aku ingin mengganggunya
dengan menampakkan diriku, aku bisa saja muncul di pintu rumah sembari
mengeraskan suara mengucapkan “Hei” agar dia menoleh, aku pikir ini ide gila.
Tapi tidak, aku memilih membiarkannya melewati jalan depan rumah tanpa pernah
mengetahui ada yang menantikannya setiap pagi dengan perasaan penuh harap, ada
sepasang mata yang berbinar menyaksikan wajahnya, bahwa ada seseorang yang
merelakan sebagian waktunya pergi begitu saja hanya untuk menunggunya. Seorang
perempuan kecil yang tak memahami arti sebuah perasaan, merasa cukup hanya
dengan duduk disudut kamar dekat ventilasi udara.