Senin, 16 Juni 2014

Silent



Aku berdiri di pinggir jalan untuk menunggu taksi, hari ini cuacanya sangat panas bahkan hingga sore hawanya masih terasa. Jam menunjukkan hampir jam 6 sore, aku masih menunggu beberapa saat sampai tiba sebuah taksi menghampiri tempatku berdiri, aku segera masuk dan menuju rumah. Setiap sore ba’da ashar dari hari jum’at-minggu sudah menjadi jadwal rutin bagiku untuk mengajar anak-anak mengaji di sebuah surau kecil, terletak di perkampungan kumuh yang mayoritas adalah pemulung dan sebagian bekerja sebagai pedagang kecil. Sudah hampir setahun aku menjalani rutinitas ini, ditengah kesibukan aktifitas kuliah yang padat aku selalu menyempatkan waktu agar bisa mengajar mereka, bertemu dan bercengkrama bersama anak-anak adalah hal yang menyenangkan, ibarat sarana refresing diantara penatnya jiwa yang lelah akibat hiruk-pikuk urusan dunia.

Tak terasa taksi yang aku tumpangi telah berhenti didepan rumah, aku turun kemudian membayar seraya mengucap terima kasih. Kulangkahkan kaki memasuki halaman rumah, terlihat pintu depan rumah terbuka. Seiring langkah yang kian mendekati pintu, mataku mencuri-curi pandang kedalam rumah berusaha mencari tau, ternyata sedang ada seorang tamu. Kulihat abi sedang berbicara dengan seorang laki-laki diruang tamu, aku mengucapkan salam ketika memasuki rumah. Mataku menatap tamu tersebut sekilas seraya tersenyum sambil menundukkan kepala menghadapnya, kemudian aku segera berlalu. Kuhampiri umi yang sedang berada didapur membuatkan minuman untuk abi dan tamu tersebut, karena penasaran dengan tamu tadi maka aku bertanya pada umi.
“ Siapa mi…?”
“Owh…itu Ali anaknya pak Ahmad teman ayah dulu waktu dipesantren, nanti malam dia akan menjemput ayahnya dan kemungkinan malam ini mereka akan menginap disini jadi tolong bantu umi ya untuk membersihkan kamar tamu…”
“Baik umi…”

Umi berlalu dari hadapanku menuju ruang tamu, aku segera memasuki kamar dan merebahkan tubuh barang sejenak. Tiba-tiba entah mengapa bayangan tamu yang kata umi bernama Ali muncul dalam benakku, terbayang wajahnya yang muda… ia terlihat masih seumuran denganku atau mungkin lebih tua beberapa tahun, matanya yang hitam dipadukan dengan alis yang tebal dengan hidung mancung wajahnya pun teduh, tampan. Andai aku boleh menilai dirinya 1-10 aku akan beri dia nilai 9 untuk fisiknya, tapi… apalah artinya fisik yang rupawan jiwa hati tak menawan. Aku tak mengenalnya bahkan tak tau bagaimana sifat dan hatinya, rasanya tak pantas aku menilai terlalu cepat, lagipula ia hanya tamu yang menumpang sesaat disini, aku menghentikan lamunanku.
            Malam harinya setelah makan malam aku langsung masuk kamar, rasa lelah akibat kegiatan yang aku lakukan selama sehari penuh benar-benar menyita tenaga, tanpa sadar aku tertidur dengan pulasnya. Waktu telah melewati sepertiga malam, aku terbangun… kulihat jam didinding kamar menunjukkan jam 3 dini hari, aku memutuskan untuk sholat tahajud. Langkah kakiku terhenti ketika menuju tempat wudhu yang terletak dekat dapur, tepat didepan kamar tamu aku mendengar sayup-sayup suara… suara yang sebelumnya tak pernah aku dengar. Aku diam mematung tanpa gerak, rasanya ingin aku berada lebih lama ditempat yang aku pijak sekarang untuk mendengarkan suara lembut itu. Suara yang mengalun indah nan merdu menguntai kalam-kalamNya, huruf alif lam hingga ya seakan melebur menjadi satu dalam pekatnya malam… dalam heningnya suasana yang kian menambah syahdu. Suara itu… ya suara itu adalah suara Ali yang sedang larut dalam buaian kasih sayangNya, mungkin ia sedang bermunajat dengan Rabbnya.
Aku teringat obrolan dengan umi saat makan malam, umi bercerita mengenai Ali. Dari cerita umi aku mengetahui bahwa ia baru saja pulang ke Indonesia setelah menamatkan S2 di salah satu Universitas terbaik di Mesir, lulus dengan predikat yang membanggakan. Umi yang pada saat itu iseng mencoba menggoda dengan berkata lirih disampingku…
“Dia juga seorang hafizh lo…kurang apa lagi coba?”
Aku hanya tersenyum meski sebenarnya ada desir-desir halus yang merasuk ke dalam relung hati tapi aku tak berani mengungkapkannya. Dan ketika malam ini aku mendengar suara lembutnya membacakan ayat suci, getar-getar itu seakan hadir kembali. Pesonanya tak pelak membuat hidupku serasa memiliki warna baru yang indah namun aku lebih memilih diam, bersembunyi dibalik pesona yang ia punya. Aku terlalu takut untuk sebuah rasa yang tak dapat aku halau bahkan hingga ia pergi, ketika akhirnya ia pamit untuk pulang bersama ayahnya… aku masih diam dan memilih menyembunyikannya rapat dibilik dinding hati.
***
2 tahun kemudian…
Di sebuah toko buku, aku sedang asik memilih buku yang akan aku beli tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang tak jauh dari tampatku berada.
“Hana..!”
Aku refleks menoleh dan betapa terkejutnya aku ketika mengetahui siapa yang baru saja memanggil. Wajah itu… wajah yang sangat melekat di ingatanku, terkadang ia sering hadir dalam lamunan.
“Ali…” suaraku tersendat ketika mengucap nama itu.
“Hana apa kabar?bagaimana keadaan umi dan abi dirumah…?”
“Ehm…Alhamdulillah sehat” aku masih tergagap, debar jantungku seakan berdetak tanpa aturan.
“Syukurlah, O ya bagaimana  dengan kuliahnya? Kalau tidak salah sebentar lagi lulus”
“InsyaAllah bulan depan, tinggal menunggu wisuda. Mohon doanya…”
“Ya..pasti, kita saling mendoakan” ucapnya sambil tersenyum.
“Maaf saya tidak bisa lama-lama karena harus kekampus setelah ini, jika ada waktu silahkan mampir kerumah, mungkin umi dan abi akan senang”
“InsyaAllah kalau ada waktu saya akan mampir ke rumah, titip salam sama abi dan umi ya…”
Sebelum kami berpisah Ali sempat meminta nomor handphone, setelah itu aku pun berlalu. Pertemuan singkat dengan Ali membuat rasa yang hadir 2 tahun silam semakin enggan pergi dari hati. Seiring waktu berlalu hubungan kami semakin dekat meski tak pernah bertemu kembali, namun ia sering menghubungi melalui telepon. Selang dua bulan setelah pertemuan ditoko buku akhirnya ia mengutarakan niatnya.
            “Hana… bolehkah saya bertanya?”
            “Ya silahkan…”
“Untuk saat ini apakah ada seseorang yang dekat denganmu?ehm… maksudku apakah kau sudah memiliki calon atau seseorang yang kau cintai?” terlihat dari nada suaranya ia sangat hati-hati ketika mengucapkannya.
“Seseorang yang aku cintai? Ya… tentu ada, kau ingin tau? Seseorang itu adalah….” Hatiku mulai berbisik, aku takkan mengucapkan kata-kata seperti yang diucapkan hatiku, tidak untuk saat ini!
            “Jika yang Ali maksud calon suami?saya belum punya…” jawabku lirih.
“Kalau begitu, menikahlah denganku?! Aku sudah bicarakan dengan keluarga mengenai masalah ini dan mereka setuju, Jika kau berkenan secepatnya aku akan datang kepada orang tuamu. Bagaimana…?”, kata-katanya tegas dan mantap.
Aku terpaku ketika mendengarnya, waktu seakan berhenti berputar suhu tubuhku kian meningkat beberapa derajat celcius dan jantungku? Aku merapatkan telapak tangan tepat ke dada dekat jantung, aku takut ia berhenti berdetak karena bahagia yang membuncah.
            “Hana… kau masih disana?halo…halo…”
            “Yaa… aku masih disini”
            “Bagaimana… mau kah kamu…???”, sebelum ia selesai mengucapkan kalimatnya yang sudah menggantung di ujung lidah, aku dengan cepat menjawabnya.
            “Datanglah… aku tunggu kedatanganmu”, akhirnya kata-kata itu meluncur dari bibirku.



***
Dua minggu sebelum acara pernikahanku kesibukan semakin tampak dirumah, aku bahkan sudah dilarang umi untuk tidak sering-sering keluar atau bepergian jauh, namun hari ini adalah jadwalku untuk mengajar anak-anak mengaji. Aku tak ingin melepas tanggung jawab begitu saja maka dengan memelas pada umi aku memohon agar diijinkan, karena tak tega akhirnya umi meluluskan permintaanku. Seusai mengajar seperti biasa aku menunggu taksi ditempat yang sama, entah mengapa suasana ketika sangat sepi. Tanpa aku sadari dari arah samping berjalan tiga orang laki-laki berpakaian preman, wajah mereka sangar dengan tubuh berotot bak algojo. Aku sudah ingin beranjak pergi untuk menghindari namun kalah cepat, mereka manghadang serta mengelilingi tubuhku yang kini gemetar karena takut. Salah satu dari mereka menarik tas yang tergantung di lengan tanganku, aku berusaha mempertahankan sekuat tenaga.
            “Serahkan tasnya… kalau tidak kami tidak segan-segan mencelakaimu!”, akhirnya terjadi tarik-menarik antara aku dengan preman tersebut. Salah satu temannya berusaha menarik tubuhku agar tas yang aku pegang terlepas, tubuhku yang lebih kecil dibandingkan mereka akhirnya tersungkur jatuh, aku berusaha berteriak sekuat tenaga berharap ada yang mendengar dan menolong.
            “Hei… hentikan!!!”, sebuah teriakan terdengar tak jauh dari tempat kami berada.
 Aku menatap laki-laki yang berteriak  tadi. Tanpa menunggu aba-aba, laki-laki tersebut segera menyerang gerombolan preman yang merebut tasku. Mereka terlibat baku hantam, dimenit pertama laki-laki tersebut masih bisa melawan serangan yang dilancarkan oleh preman dan kawan-kawannya namun kekuatan yang tak sebanding 1 lawan 3, membuat laki-laki tersebut kewalahan hingga akhirnya tendangan yang diarahkan ke perut oleh si preman membuatnya terjengkang, tubuhnya terlempar mengarah ke jalan dan pada saat itu tepat dari arah samping melintas mobil.
            “Aliiii awaaaaass….!!!!” Teriakku sekuat tenaga.
            “BRAAAKKK...”
Seketika itu juga jalan yang tadinya kering kini telah basah oleh rembesan darah, aku berlari menghampiri tubuh Ali yang kini tergolek tak berdaya, tak kuhiraukan lagi para preman yang terburu-buru lari begitu pula mobil yang menabrak Ali, mobil itu berlalu dengan cepat.
***
Hari ini merupakan tanggal dimana aku melaksanakan acara pernikahan, menikah dengan orang yang selama ini telah mengajari aku arti cinta, seorang laki-laki yang kudengar suaranya ditengah malam buta melantunkan ayat-ayat penuh cinta, yang ketika aku mendengar namanya membuat hatiku bergetar, laki-laki itu bernama Ali.
Aku masih setia duduk disampingnya dengan balutan busana putih senada dengan jilbab yang aku kenakan, orang-orang tampak ramai berdatangan silih berganti. Harum aroma misk menyebar keseluruh ruangan, entah berasal darimana. Aku menoleh kesamping memandang wajah Ali yang teduh, ia tersenyum seakan tak ada beban. Uminya Ali menghampiri seraya memeluk tubuhku.
“Yang sabar ya nak… umi mohon maaf jika Ali ada salah, relakan kepergiannya dengan ikhlas…”
Aku hanya mampu mengangguk, sekuat tenaga aku menahan air mata yang seakan siap tumpah. Tidak, aku tidak ingin menangis dihadapan orang yang aku cintai meski ini terasa begitu menyakitkan… aku tak ingin melepasnya dengan tetesan air mata. Kembali aku pandangi wajah Ali, kini matanya telah terpejam tubuhnya kaku tertutup kain putih namun terlihat ia begitu damai.
“Tuhan… engkau tau bagaimana rasa ini, rasa yang telah tersimpan sejak pertama kali engkau mempertemukanku dengannya, yang akan ku ucap ketika ia telah halal untuk aku sentuh… namun ternyata rasa ini tak cukup besar dibandingkan rasa sayangMu terhadapnya sehingga kau lebih dulu mengambilnya sebelum aku sempat mengucap kata cinta…”

Setelah kepergian Ali aku berusaha untuk kuat menjalani sisa hari-hari yang aku miliki, telah ku relakan kepergiannya karena aku tau inilah yang terbaik. Melihatnya koma selama hampir 2 minggu pasca tabrakan cukup membuatku tersiksa, hampir setiap hari aku menjenguknya  berharap ia membuka mata dan sadar namun Tuhan berkehendak lain, tepat pada malam sebelum hari pernikahanku ia menghembuskan nafas terakhir.
            Impian yang dulu pernah hadir tak pernah terwujud seiring kepergiannya. Aku tak sempat mengucap cinta layaknya Fatimah Az-Zahra yang mengucap cinta kepada Ali bin Abi Thalib setelah mereka halal dalam ikatan pernikahan. Sejak dulu aku memendam rasa ini dalam diam dan aku benar-benar diam hingga hembusan nafas terakhir.

“Cinta bagiku adalah diam, tanpa suara
Yang tak sempat ku ucap lewat kata
Tersimpan disudut hati yang gelap
Yang hanya mampu tersirat lewat tatap...”
 (Hana)

Banjarbaru, 6.45 pm
Minggu, 5 Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar