- Selalu… aku selalu ingin menjadi senja bagimu, meski sesaat tapi selalu layak untuk diingat.
- Senja masih sama seperti kemarin, masih mempesona dengar gurat jingga di angkasa… berarak hingga lenyap menyambut malam. Berharap suatu saat nanti bisa menikmatinya berdua denganmu.
- Masih dengan senja yang sama, namun di kotaku senja menjadi lukisan duka yang tak sempat kau lihat.
Rabu, 12 Februari 2014
Senja kita
Kepada Jodoh Cintaku...
Tahukah engkau cinta…?
Hari-hari yang ku lalui kian terasa berat semenjak aku mengerti apa arti cinta,
ketika aku bertekad untuk tidak lagi salah dalam meletakkannya... ketika telah
ku patri dalam dinding hati untuk tidak mamberikan cinta yang kupunya kepada
selain yang berhak, yaitu suamiku…jodoh cintaku. Terkadang lelah menghimpit
jiwa tatkala seseorang datang silih berganti menjadi bagian dari perjalananku
menunggumu, mereka hadir tanpa pernah kuduga menawarkan berjuta kebahagian dan
harapan namun tak pernah berujung pada keberanian menghadap waliku untuk
meminta secara haq. Maafkan aku cinta… jika terkadang aku lalai dalam menjaga
hati, jika hatiku tak cukup kokoh untuk tegar menantang godaan, aku masih
terlalu lemah. Meski pada awalnya terasa indah dan penuh dengan kebahagian dari
secuil perhatian yang mampu mereka berikan, namun apalah arti semua itu jika
pada akhirnya luka jualah yang tertoreh. Bagaimanapun juga mereka telah menjadi
bagian dari hidupku, aku tak pernah tahu maksud Tuhan dibalik semua yang pernah
ia hadirkan tapi aku telah belajar banyak dari apa yang terjadi, dari duka aku
belajar menghargai bahagia… dari kemarahan aku belajar memaafkan… dari tangisan
aku belajar arti sebuah senyuman, semuanya berotasi mengikuti alur bernama
kehidupan.
Cinta… ku gores tulisan
ini jauh sebelum aku mengenalmu, sebelum Tuhan menyatukan kita… ketika asaku
kian menipis dalam ujian yang terus menerpa, ketika ragaku tersungkur
dikaki-Nya memohon agar ia senantiasa berkenan menguatkan hatiku untuk bertahan
dalam balutan ikhlas dan sabar, ikhlas menerima segala keputusannya walau
terkadang sulit… sabar dalam menantimu hingga kau datang menjemputku. Aku ingin
kelak kau tau bahwa aku telah berusaha mempersembahkan yang terbaik bagimu. Tak
pernah kuragu sedikitpun akan janji-Nya, aku percaya engkau disana sedang
berusaha menjadi hamba-Nya yang lebih baik, layaknya aku disini. Tuhan bukan
sedang mengulur waktu pertemuan kita, ia justru sedang memberi kesempatan
kepada kita untuk memantaskan diri masing-masing.
Cinta... ingin katakan
dengan jujur bahwa aku takkan pernah bisa menjadi pasanganmu yang sempurna,
jika nanti ada cela yang kau temui pada diriku… kumohon lihatlah bagaimana aku
telah berusaha menjadi berharga bagimu. Terlalu banyak cacat yang aku punya,
tapi akan terus kucari sisi lebih yang telah Tuhan titipkan padaku agar kelak
akan ada hal-hal yang mampu kau banggakan dari tulang rusukmu ini. Jika suatu
ketika aku salah atau marah maka jangan bersikap kasar padaku, redam amarahku
dengan rengkuhan kasih sayang. Meski aku tak selalu terlihat cantik… jangan
katakan aku tak menarik, meski aku nanti akan menua… jangan katakan aku tak
lagi mempesona, meski akan ada yang lebih baik diluar sana… kumohon jangan
tergoda, dan jika masih ada seribu “meski” yang mampu membuatmu pergi dariku
maka tetaplah mencari seribu alasan agar engkau tetap berada disisiku. Untuk
membuatku bahagia terus memilikimu.
Cinta… saat ini banyak
orang yang mulai menanyakan kapan aku menikah? Sebuah pertanyaan yang mungkin
biasa bagi mereka yang telah merasakan pernikahan, namun tidak bagiku yang
masih sendiri…yang masih menunggumu. Pertanyaan itu terlalu sulit untuk aku
jawab karena aku tak pernah tau pasti, aku hanya terdiam dalam senyum untuk
menyembunyikan luka kecil yang tergores sempurna oleh apa yang telah mereka
lontarkan.
Cinta… entah dibelahan
bumi mana kini engkau berada, tak pernah kulewatkan dirimu disetiap doa-doaku
agar engkau senantiasa dalam penjagaan-Nya. Masih kugenggam erat keyakinan itu
bahwa suatu hari akan Tuhan pertemukan kita dengan caranya yang paling indah,
karena namamu telah ia sandingkan jauh sebelum kita menatap dunia.
Cinta… bila kita telah
bersama, jangan berjalan mendahuluiku atau berada dibelakangku tapi biarkan
beriring sejalan bersisian dalam derap langkah yang seirama. Engkau tau kemana
harus menuju, bawa aku selalu dalam langkah menuju ridho-Nya. Ajak aku untuk
selalu menjadi makmum di setiap sholat yang kita tegakkan, izinkan aku
memperdengarkan ayat-ayat suci dengan lembut dari mulutku yang mungil ketika
engkau penat akan dunia, izinkan aku memijit tubuhmu yang lelah untuk membalas
perjuanganmu mencari nafkah. Aku tak
bisa janjikan untuk selalu bersamamu di dunia ini karena kematian adalah
keniscayaan, raga kita pasti akan terpisah. Dikehidupan setelah ini, seandainya
Tuhan mengizinkan untuk kita bersama kembali… aku dengan senang hati akan
menjadi bidadarimu di syurga nanti.
“Ku gores hitam di atas
putih untuk seseorang yang kelak akan kucium penuh takzim punggung tangannya…
yang dengannya akan sempurnalah separuh agamaku. Seseorang yang dengan gagah
berani memintaku sesuai syariat kepada kedua orang tuaku untuk bersama
menjalani hidup yang tersisa… yang dengannya akan kutelusuri jalan menuju
syurga.”
Banjarbaru, 13 Maret 2013
3.00 am
[Mozaik Blog Competition 2014] Menulis = Pahala Tanpa Batas
Event Mozaik Blog Competition :http://lomenulis.com/post/75683551489/lomba-menulis-di-blog-writer-wannabe-juara-1 sponsored by beon.co.id.: beon.co.id
Kenapa sih harus menulis? Apa keuntungan
menjadi seorang penulis?
Mungkin pertanyaan
seperti ini pernah ditanyakan sebagian orang, bagi saya yang kini telah jatuh
cinta dengan dunia tulis menulis dan akhirnya bercita-cita suatu hari nanti
ingin menjadi penulis dengan berbagai karya yang bisa menginspirasi banyak
orang, menulis menjadi hal yang sangat menyenangkan untuk dilakukan bahkan telah menjadi sarana refresing bagi saya. Sama
halnya ketika membaca, saat menulis pun saya seperti memilki dunia sendiri,
dengan leluasa saya bisa berimajinasi dan merangkaikan kata demi kata. Namun
lebih daripada itu, menulis bagi saya merupakan tabungan ketika nanti saya
telah tiada.
Setiap apa yang kita
lakukan pasti akan dipertanggung jawabkan, begitu juga ketika menulis. Dulu
saya pernah mengikuti seminar kepenulisan, salah satu narasumbernya berkata
seperti ini, “sebagai seorang penulis,
berusahalah menuliskan hal-hal yang baik karena apa yang kita tulis dapat
berpengaruh kepada orang lain atau pembaca. Setiap apa yang kita tulis juga
akan dipertanggung jawabkan.” Mendengar kalimat tersebut membuat saya
menyadari bahwa betapa besar efek yang bisa ditimbulkan oleh sebuah tulisan,
saya juga menjadi semakin berhati-hati untuk menuliskan sesuatu, selalu saya
tanamkan dalam hati untuk memberikan hal yang baik serta bermanfaat disetiap
tulisan saya.
Jujur saja, saya baru 1
tahun belajar menulis. Awalnya saya justru tidak menyadari akan bakat atau
potensi yang saya miliki. Semua ini bermula ketika awal tahun 2013 lalu, saat
itu saya kesulitan menyampaikan sesuatu untuk seorang sahabat, tiba-tiba
terpikirkan untuk menyampaikannya lewat tulisan, akhirnya sayapun menulis.
Tulisan itu saya publikasikan dimedia sosial, beberapa waktu setelah itu saya
mencoba untuk menulis lagi namun berupa cerpen. Meski masih meragukan kemampuan
sendiri dalam menulis, saya memberanikan untuk mempublikasikannya kembali dan
saya bagikan kebeberapa teman, tanpa saya duga komentar yang mereka berikan
ternyata positif, bahkan ada yang bilang bahwa saya berbakat, dari situ saya
semakin percaya diri dan terus belajar untuk mengembangkan potensi. Saya
benar-benar menikmati moment ketika menulis, tanpa saya sadari dalam waktu tiga
bulan telah terkumpul dua puluh lebih hasil karya tulisan saya. Suatu hari ada
seorang teman yang mengusulkan untuk membukukan karya yang ada dan dia
memberikan kepada saya alamat suatu penerbit indie yang dapat menerbitkan buku,
tanpa pikir panjang sayapun langsung menghubungi penerbit tersebut.
Alhamdulillah… pertengahan tahun 2013 akhirnya buku pertama saya selesai cetak.
Saya benar-benar terharu ketika pertama kali memegang buku tersebut, tanpa
pernah saya mengira Tuhan telah mewujudkan mimpi dan keinginan saya untuk
menerbitkan buku. Di akhir tahun 2012 saya menuliskan target “menerbitkan
buku”, dan akhirnya tidak sampai satu tahun setelah itu saya sudah bisa
mencoretnya sebagai tanda telah terwujud.
Dari sejak kecil, saya
memang sangat menyukai membaca sehingga ketika mulai menulis tidak terlalu
kesulitan dalam mengembangkan atau mencari bahan tulisan. Ada yang bilang bahwa
kunci menjadi seorang penulis ada 2 yaitu banyak membaca dan menulis, jadi jika
ingin menghasilkan karya dan menjadi penulis yang hebat maka banyak-banyaklah
membaca. Dari sekian banyak penulis yang ada, saya cenderung lebih banyak
menyukai para penulis dalam negeri seperti Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim
Amrullah atau Buya Hamka, Andrea Hirata, A. Fuadi, Habiburrahman El-Shirazy, Donny Dhirgantoro, Sapardi Djoko Damono, Rindu . Karya-karya mereka benar-benar
menyihir saya hingga halaman terakhir ketika membacanya. Kekuatan kisah cinta
dalam nilai-nilai religius dibalut apik dalam buku-buku karangan Buya Hamka dan
Habiburrahman El-shirazy membuatnya meninggalkan kesan yang mendalam bagi para
pembaca, seperti tak lekang oleh zaman. Ditengah kemorosotan semangat belajar
para pemuda/i Indonesia karena berbagai faktor, semangat menuntut ilmu yang
begitu membara oleh para tokoh dalam buku Laskar Pelangi karya Andrea Hirata atau Lima Menara
karyanya A. Fuadi seakan menjadi pemicu untuk kembali memunculkan semangat
belajar yang kian padam, entah mengapa membaca buku mereka juga bisa
memunculkan tekad yang kuat untuk berani bermimpi. Untuk “5 cm” karya Donny Dhirgantoro,
saya hanya bisa berkata bahwa ini adalah buku yang telah banyak mempengaruhi
saya untuk berani dalam mencoba banyak hal dan merupakan buku ynag akan selalu
saya kenang sepanjang masa, kesannya tak pernah hilang hingga hari ini meski
telah bertahun-tahun yang lalu sejak saya menyelesaikan membaca bukunya. Dan,
puisi serta sajak karya Sapardi Djoko Damono tak pernah henti membuat saya
berdecak kagum akan kedalaman makna yang terkandung, saya seakan tak mengenal
jemu untuk kembali menikmati setiap baitnya. Seorang perempuan yang biasa
dipanggil Rindu, melalui tulisan-tulisannya diblog mampu membuat saya
menyingkirkan kata sakit untuk sebuah kehilangan. Rasa nyeri akibat ditinggalkan
oleh orang yang saya sayangi, perlahan-lahan memudar setiap kali saya larut
dalam kisah yang ia sampaikan dengan tutur kata yang sederhana. Saya menyukai
penuturannya yang selalu berusaha menyampaikan dengan hati dan terkesan apa
adanya, dan hal ini sedikit banyak mempengaruhi gaya penulisan saya.
Sungguh, saya ingin
suatu hari nanti bisa memiliki karya seperti mereka yang mampu menginsipirasi
dan menggugah semangat pembacanya, saya berharap akan semakin banyak orang yang
bisa menikmati tulisan saya karena meski telah menerbitkan satu buku namun saya
masih kesulitan untuk memasarkannya karena ini masih diterbitkan oleh penerbit
indie. Saya merasakan bagaimana susahnya diawal perjuangan menjadi seorang
penulis. Untuk bisa menerbitkan buku dipenerbit indie tersebut, saya harus
membayar sejumlah uang, ketika telah terbit saya juga mengalami kesulitan dalam
memasarkannya karena tidak ada koneksi dengan toko-toko buku, alhasil saya
hanya menawarkan kepada orang-orang terdekat seperti teman atau saudara.
Dicetaknya pun tidak sekaligus banyak, hanya jika ada yang memesan baru bukunya
dicetak. Kadang saya suka berpikir, “capek
banget ya… udah saya yang nulis, saya juga yang sibuk ngurus pemasaran dan
ngantar-ngantar bukunya ke pembeli, royaltinyapun tak seberapa.” Memang
kalau mau hitung-hitungan, justru saya yang rugi tapi saya mencoba
mengembalikannya pada niat awal saya
menulis, bahwa saya menulis untuk menebar kebaikan dan manfaat
sebanyak-banyaknya kepada orang lain, biarlah saya rugi secara materi atau uang
tapi mudah-mudahan dari buku yang sudah terbit ini, bisa menjadi salah satu
amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir ketika nanti saya terbujur kaku
di dalam kubur, dan nanti meski telah tiada, mereka yang masih hidup akan
mengenang saya ketika membaca buku tersebut. Dulu ketika saya mengatakan kepada
mama tentang keinginan untuk menjadi penulis, beliau justru mengatakan “Ngapain kuliah di teknik kalo malah jadi
penuli!” saya benar-benar sedih mendapat tanggapan seperti itu dari orang
yang sangat saya harapkan dukungannya, tapi hati kecil saya masih ingin terus
mencoba. Saya merasa tidak perlu menjelaskan apapun kepada mereka yang tidak
mendukung cita-cita saya, yang perlu saya lakukan hanyalah membuktikannnya
bahwa saya bisa. Saya percaya, Tuhan
selalu punya jalan untuk setiap mimpi yang ingin kita wujudkan, ia juga tak
pernah menutup mata akan kerja keras yang telah dilakukan. Terkadang saya
merasa miris, ketika saya begitu ingin mendapat dukungan dari keluarga, justru
dukungan itu datang dari orang lain seperti ketika seorang sahabat saya berkata
ia bangga memiliki teman seorang penulis seperti saya. Betapa saya sangat
terharu mendengarnya, Tuhan seperti ingin menjaga semangat yang ada didalam
diri saya untuk terus menulis.
Mari kita belajar dari
para orang-orang terdahulu seperti Ibnu Sina dan Einstein, meski telah
berabad-abad lamanya tapi mereka masih dikenang karena karyanya yang bisa kita
nikmati hingga saat ini melalui ilmu serta pemikiran-pemikiran yang telah
mereka tuliskan. Bayangkan jika ilmu dan pemikiran serta ide yang ada tidak
mereka tuangkan dalam bentuk tulisan, maka selamanya tak akan menjadi apa-apa.
Inti dari tulisan sebenarnya tidak sulit, engkau hanya perlu “melakukan!”,
sebanyak apapun ide yang ada dipikiran kalian takkan menjadi sebuah karya jika
enggan untuk menuliskannya.
Seandainya hari esok kita
tak lagi dapat menatap matahari, mungkin saja tulisan yang kita buat hari ini
mampu menjadi kenangan bagi mereka yang kita tinggalkan. Jangan pernah memakai
alasan apapun untuk menunda menghasilkan karya berupa tulisan, kita hanya perlu
mencoba untuk berani memulai, tulis saja semampunya dan apa yang kita ketahui
selama itu baik, percayalah tidak ada kebaikan yang sia-sia sekecil apapun itu
karena Tuhan tidak pernah mengenal kata kecil atau besar untuk sebuah kebaikan,
yang ia tau bahwa ia menjanjikan syurga bagi orang yang senantiasa berbuat
baik. Jadi, menulislah dari sekarang!
Kamis, 06 Februari 2014
Katamu… Kita Tak Sama!
Mataku terus tertuju
pada handphone yang tergeletak di atas meja, berharap sebuah pesan darinya
menyapaku. Sudah beberapa hari ini dia tak ada kabar, menghilang begitu saja…
tak biasanya hal ini terjadi. Beberapa kali kucoba menghubungi tapi nomor yang
dituju selalu tidak aktif. Aku masih berharap selang beberapa lama namun kian
hari kian menyusut hingga lelah itu merasuk aku hanya mampu menguntai sebuah
doa agar ia selalu dalam penjagaan-Nya disana.
Aku baru saja hendak
berlayar ke alam mimpi, baru beberapa menit rasanya aku terbaring di atas kasur
yang empuk ini tapi tiba-tiba sebuah suara membuatku tersadar.
“Beeeppp…”, handphoneku
bergetar menandakan ada sebuah pesan baru masuk. Aku yang belum sepenuhnya terjaga
akibat rasa kantuk mencoba membaca pesan yang tertera dilayar HP, nomornya sama
sekali tak kukenal.
“Ini aku yusuf, maaf beberapa hari ini
aku tak bisa menghubungimu. Handphone milikku sekarang ditahan umi, ia marah
saat mengetahui kita masih berhubungan meski hanya sekedar lewat handphone.
Maaf sudah membuatmu khawatir, ini nomor adikku.”
Aku
segera memahami apa yang sebenarnya terjadi, sambil menatap langit-langit kamar
yang kini mulai tampak buram oleh genangan air dipelupuk mata, tanpa mampu aku
tahan akhirnya ia jatuh menetes membasahi pipiku yang hangat. Aku yang masih
terbaring semakin terbujur kaku, pikiranku menerawang.
Seharusnya
aku sadar sejak awal bahwa tak mudah untuk bisa bersamamu, ketika engkau
mengatakan bahwa kita berbeda, aku dan kamu… keluargamu. Meski sebenarnya kamu
tak mempermasalahkan dengan keadaanku yang seperti ini tapi reaksi yang
ditunjukkan oleh keluargamu terlebih oleh umimu saat kau mengutarakan niat
untuk menyuntingku dihadapan mereka dan jawabannya adalah tidak, itu sudah
jelas bagiku untuk menunjukkan apa yang kelak akan kita hadapi. Namun engkau
membujukku berharap aku mau memberi sekali kesempatan untukmu kembali berusaha,
berharap keluargamu mau menerimaku meski akhirnya semua tetaplah sama.
Aku
bangkit dari pembaringan dan terduduk sambil menyadarkan punggungku ke tembok
dinding kamar, beban ini kian menambah rasa lelah dalam diri. Kejadian ini
membuatku seakan merasa kecil, ada rasa tak adil. Apakah aku hina? Hanya karena
aku tak sama… lalu seberapa mulianya kamu dan keluargamu? Hingga menyebabkan
kita tak dapat bersama.
Ketika kutanyakan padamu mengapa umimu
begitu menentang dan murka padaku…
Katamu… nasab kita berbeda, ingin ku
jawab… bukankah kita satu keturunan dari nabi adam dan hawa?
Katamu… dalam darah kamu dan keluargamu
mengalir darah Rasulullah saw, bukankah aku juga salah satu dari umat beliau?
Seandainya aku bisa
memilih dilahirkan oleh siapa, tentu aku akan memilih dilahirkan sama sepertimu
agar kita bisa bersama, tapi… apakah aku punya kuasa untuk itu? letak kuasa itu
ada ditangan-Nya dan aku sebagai manusia hanya bisa menjalani apa yang telah
ditakdirkan-Nya. Jangan tanyakan bagaimana hatiku saat penolakan demi penolakan
menghantam jiwa, tak perlu khawatir… ia takkan hancur dengan mudah karena Tuhan
telah menciptanya dalam bentuk lunak, meski akan terasa sakit di awal tapi ia
akan mampu untuk memaafkan.
Aku
memilih untuk melepasmu pada akhirnya dan mengalah, bukan karena aku lemah atau
kalah tapi aku tak ingin membuatmu terus menentang orang tua dan keluargamu.
Dinding pemisah atas nama nasab yang kau kau bangun terkadang membuatku
tersudut, terpojok bahkan tak urung membuatku terasa hina… aku menjerit “
Salahkah aku..?!”.
Mengenalmu
membuatku belajar untuk menghargai perbedaan, meski itulah yang akhirnya
membuat kita tak mampu bersatu. Adanya perbedaan seharusnya bukan untuk
menghinakan melainkan ia dapat menjadi warna yang indah dalam kehidupan,
perbedaan adalah sebuah maha karya dari sang pencipta untuk menunjukkan betapa
maha kayanya Ia… bayangkan jika semuanya sama tentu akan terasa membosankan.
Mengapa
manusia masih sanggup saling menghinakan dan merendahkan… saling membanggakan
hal-hal yang tak patut, merasa diri paling hebat dan mulia sementara masih
memiliki setumpuk dosa. Entahlah… begitu banyak pertanyaan yang tak mampu
terjawab. Tapi kemudian aku mengerti bahwa bagaimanapun manusia menghinakan
manusia atau mahluk lain, aku masih
punya Tuhanku… Tuhanmu juga, yang sanggup meletakkan kemuliaan kepada siapapun
yang dikehendakiNya tanpa pernah memandang ia siapa, darimana, warna kulitnya
apa bahkan seburuk apapun masa lalunya. Ketika manusia merasa lebih istimewa
hanya karna suatu hal, aku yang katamu berbeda… yang hanya orang biasa toh
tetap memiliki kesempatan untuk meraih syurga-Nya, meski aku hanya orang biasa
aku pun masih bisa memilih untuk menjadi orang yang baik, meski aku tak dapat
memilih dilahirkan oleh siapa… meski aku tak dapat memilih untuk menjadi sama
sepertimu… tapi dengan segala perbedaan yang aku miliki, Tuhan telah
membentangkan begitu banyak pilihan baik yang dapat aku raih. Meski mungkin tak
ada darah Rasulullah saw yang mengalir di dalam urat nadiku seperti layaknya
kamu dan keluargamu, aku tetap dapat meraih cintanya… aku tetap boleh berharap
untuk mendapat syafaatnya diakhirat kelak.
Disaat Tuhan hanya melihat iman dan
taqwa, mengapa manusia justru memilih banyak membeda…?
Banjarbaru, 03.00 pm
Rabu, 17 April 2013
Lokasi:
South Kalimantan, Indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)