Kamis, 06 Februari 2014

Katamu… Kita Tak Sama!


 
Mataku terus tertuju pada handphone yang tergeletak di atas meja, berharap sebuah pesan darinya menyapaku. Sudah beberapa hari ini dia tak ada kabar, menghilang begitu saja… tak biasanya hal ini terjadi. Beberapa kali kucoba menghubungi tapi nomor yang dituju selalu tidak aktif. Aku masih berharap selang beberapa lama namun kian hari kian menyusut hingga lelah itu merasuk aku hanya mampu menguntai sebuah doa agar ia selalu dalam penjagaan-Nya disana.
Aku baru saja hendak berlayar ke alam mimpi, baru beberapa menit rasanya aku terbaring di atas kasur yang empuk ini tapi tiba-tiba sebuah suara membuatku tersadar.
“Beeeppp…”, handphoneku bergetar menandakan ada sebuah pesan baru masuk. Aku yang belum sepenuhnya terjaga akibat rasa kantuk mencoba membaca pesan yang tertera dilayar HP, nomornya sama sekali tak kukenal.
“Ini aku yusuf, maaf beberapa hari ini aku tak bisa menghubungimu. Handphone milikku sekarang ditahan umi, ia marah saat mengetahui kita masih berhubungan meski hanya sekedar lewat handphone. Maaf sudah membuatmu khawatir, ini nomor adikku.”
            Aku segera memahami apa yang sebenarnya terjadi, sambil menatap langit-langit kamar yang kini mulai tampak buram oleh genangan air dipelupuk mata, tanpa mampu aku tahan akhirnya ia jatuh menetes membasahi pipiku yang hangat. Aku yang masih terbaring semakin terbujur kaku, pikiranku menerawang.
            Seharusnya aku sadar sejak awal bahwa tak mudah untuk bisa bersamamu, ketika engkau mengatakan bahwa kita berbeda, aku dan kamu… keluargamu. Meski sebenarnya kamu tak mempermasalahkan dengan keadaanku yang seperti ini tapi reaksi yang ditunjukkan oleh keluargamu terlebih oleh umimu saat kau mengutarakan niat untuk menyuntingku dihadapan mereka dan jawabannya adalah tidak, itu sudah jelas bagiku untuk menunjukkan apa yang kelak akan kita hadapi. Namun engkau membujukku berharap aku mau memberi sekali kesempatan untukmu kembali berusaha, berharap keluargamu mau menerimaku meski akhirnya semua tetaplah sama.
            Aku bangkit dari pembaringan dan terduduk sambil menyadarkan punggungku ke tembok dinding kamar, beban ini kian menambah rasa lelah dalam diri. Kejadian ini membuatku seakan merasa kecil, ada rasa tak adil. Apakah aku hina? Hanya karena aku tak sama… lalu seberapa mulianya kamu dan keluargamu? Hingga menyebabkan kita tak dapat bersama.
Ketika kutanyakan padamu mengapa umimu begitu menentang dan murka padaku…
Katamu… nasab kita berbeda, ingin ku jawab… bukankah kita satu keturunan dari nabi adam dan hawa?
Katamu… dalam darah kamu dan keluargamu mengalir darah Rasulullah saw, bukankah aku juga salah satu dari umat beliau?

Seandainya aku bisa memilih dilahirkan oleh siapa, tentu aku akan memilih dilahirkan sama sepertimu agar kita bisa bersama, tapi… apakah aku punya kuasa untuk itu? letak kuasa itu ada ditangan-Nya dan aku sebagai manusia hanya bisa menjalani apa yang telah ditakdirkan-Nya. Jangan tanyakan bagaimana hatiku saat penolakan demi penolakan menghantam jiwa, tak perlu khawatir… ia takkan hancur dengan mudah karena Tuhan telah menciptanya dalam bentuk lunak, meski akan terasa sakit di awal tapi ia akan mampu untuk memaafkan.
            Aku memilih untuk melepasmu pada akhirnya dan mengalah, bukan karena aku lemah atau kalah tapi aku tak ingin membuatmu terus menentang orang tua dan keluargamu. Dinding pemisah atas nama nasab yang kau kau bangun terkadang membuatku tersudut, terpojok bahkan tak urung membuatku terasa hina… aku menjerit “ Salahkah aku..?!”.
            Mengenalmu membuatku belajar untuk menghargai perbedaan, meski itulah yang akhirnya membuat kita tak mampu bersatu. Adanya perbedaan seharusnya bukan untuk menghinakan melainkan ia dapat menjadi warna yang indah dalam kehidupan, perbedaan adalah sebuah maha karya dari sang pencipta untuk menunjukkan betapa maha kayanya Ia… bayangkan jika semuanya sama tentu akan terasa membosankan. 
            Mengapa manusia masih sanggup saling menghinakan dan merendahkan… saling membanggakan hal-hal yang tak patut, merasa diri paling hebat dan mulia sementara masih memiliki setumpuk dosa. Entahlah… begitu banyak pertanyaan yang tak mampu terjawab. Tapi kemudian aku mengerti bahwa bagaimanapun manusia menghinakan manusia  atau mahluk lain, aku masih punya Tuhanku… Tuhanmu juga, yang sanggup meletakkan kemuliaan kepada siapapun yang dikehendakiNya tanpa pernah memandang ia siapa, darimana, warna kulitnya apa bahkan seburuk apapun masa lalunya. Ketika manusia merasa lebih istimewa hanya karna suatu hal, aku yang katamu berbeda… yang hanya orang biasa toh tetap memiliki kesempatan untuk meraih syurga-Nya, meski aku hanya orang biasa aku pun masih bisa memilih untuk menjadi orang yang baik, meski aku tak dapat memilih dilahirkan oleh siapa… meski aku tak dapat memilih untuk menjadi sama sepertimu… tapi dengan segala perbedaan yang aku miliki, Tuhan telah membentangkan begitu banyak pilihan baik yang dapat aku raih. Meski mungkin tak ada darah Rasulullah saw yang mengalir di dalam urat nadiku seperti layaknya kamu dan keluargamu, aku tetap dapat meraih cintanya… aku tetap boleh berharap untuk mendapat syafaatnya diakhirat kelak.
Disaat Tuhan hanya melihat iman dan taqwa, mengapa manusia justru memilih banyak membeda…?

Banjarbaru, 03.00 pm
Rabu, 17 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar