Mataku terus tertuju
pada handphone yang tergeletak di atas meja, berharap sebuah pesan darinya
menyapaku. Sudah beberapa hari ini dia tak ada kabar, menghilang begitu saja…
tak biasanya hal ini terjadi. Beberapa kali kucoba menghubungi tapi nomor yang
dituju selalu tidak aktif. Aku masih berharap selang beberapa lama namun kian
hari kian menyusut hingga lelah itu merasuk aku hanya mampu menguntai sebuah
doa agar ia selalu dalam penjagaan-Nya disana.
Aku baru saja hendak
berlayar ke alam mimpi, baru beberapa menit rasanya aku terbaring di atas kasur
yang empuk ini tapi tiba-tiba sebuah suara membuatku tersadar.
“Beeeppp…”, handphoneku
bergetar menandakan ada sebuah pesan baru masuk. Aku yang belum sepenuhnya terjaga
akibat rasa kantuk mencoba membaca pesan yang tertera dilayar HP, nomornya sama
sekali tak kukenal.
“Ini aku yusuf, maaf beberapa hari ini
aku tak bisa menghubungimu. Handphone milikku sekarang ditahan umi, ia marah
saat mengetahui kita masih berhubungan meski hanya sekedar lewat handphone.
Maaf sudah membuatmu khawatir, ini nomor adikku.”
Aku
segera memahami apa yang sebenarnya terjadi, sambil menatap langit-langit kamar
yang kini mulai tampak buram oleh genangan air dipelupuk mata, tanpa mampu aku
tahan akhirnya ia jatuh menetes membasahi pipiku yang hangat. Aku yang masih
terbaring semakin terbujur kaku, pikiranku menerawang.
Seharusnya
aku sadar sejak awal bahwa tak mudah untuk bisa bersamamu, ketika engkau
mengatakan bahwa kita berbeda, aku dan kamu… keluargamu. Meski sebenarnya kamu
tak mempermasalahkan dengan keadaanku yang seperti ini tapi reaksi yang
ditunjukkan oleh keluargamu terlebih oleh umimu saat kau mengutarakan niat
untuk menyuntingku dihadapan mereka dan jawabannya adalah tidak, itu sudah
jelas bagiku untuk menunjukkan apa yang kelak akan kita hadapi. Namun engkau
membujukku berharap aku mau memberi sekali kesempatan untukmu kembali berusaha,
berharap keluargamu mau menerimaku meski akhirnya semua tetaplah sama.
Aku
bangkit dari pembaringan dan terduduk sambil menyadarkan punggungku ke tembok
dinding kamar, beban ini kian menambah rasa lelah dalam diri. Kejadian ini
membuatku seakan merasa kecil, ada rasa tak adil. Apakah aku hina? Hanya karena
aku tak sama… lalu seberapa mulianya kamu dan keluargamu? Hingga menyebabkan
kita tak dapat bersama.
Ketika kutanyakan padamu mengapa umimu
begitu menentang dan murka padaku…
Katamu… nasab kita berbeda, ingin ku
jawab… bukankah kita satu keturunan dari nabi adam dan hawa?
Katamu… dalam darah kamu dan keluargamu
mengalir darah Rasulullah saw, bukankah aku juga salah satu dari umat beliau?
Seandainya aku bisa
memilih dilahirkan oleh siapa, tentu aku akan memilih dilahirkan sama sepertimu
agar kita bisa bersama, tapi… apakah aku punya kuasa untuk itu? letak kuasa itu
ada ditangan-Nya dan aku sebagai manusia hanya bisa menjalani apa yang telah
ditakdirkan-Nya. Jangan tanyakan bagaimana hatiku saat penolakan demi penolakan
menghantam jiwa, tak perlu khawatir… ia takkan hancur dengan mudah karena Tuhan
telah menciptanya dalam bentuk lunak, meski akan terasa sakit di awal tapi ia
akan mampu untuk memaafkan.
Aku
memilih untuk melepasmu pada akhirnya dan mengalah, bukan karena aku lemah atau
kalah tapi aku tak ingin membuatmu terus menentang orang tua dan keluargamu.
Dinding pemisah atas nama nasab yang kau kau bangun terkadang membuatku
tersudut, terpojok bahkan tak urung membuatku terasa hina… aku menjerit “
Salahkah aku..?!”.
Mengenalmu
membuatku belajar untuk menghargai perbedaan, meski itulah yang akhirnya
membuat kita tak mampu bersatu. Adanya perbedaan seharusnya bukan untuk
menghinakan melainkan ia dapat menjadi warna yang indah dalam kehidupan,
perbedaan adalah sebuah maha karya dari sang pencipta untuk menunjukkan betapa
maha kayanya Ia… bayangkan jika semuanya sama tentu akan terasa membosankan.
Mengapa
manusia masih sanggup saling menghinakan dan merendahkan… saling membanggakan
hal-hal yang tak patut, merasa diri paling hebat dan mulia sementara masih
memiliki setumpuk dosa. Entahlah… begitu banyak pertanyaan yang tak mampu
terjawab. Tapi kemudian aku mengerti bahwa bagaimanapun manusia menghinakan
manusia atau mahluk lain, aku masih
punya Tuhanku… Tuhanmu juga, yang sanggup meletakkan kemuliaan kepada siapapun
yang dikehendakiNya tanpa pernah memandang ia siapa, darimana, warna kulitnya
apa bahkan seburuk apapun masa lalunya. Ketika manusia merasa lebih istimewa
hanya karna suatu hal, aku yang katamu berbeda… yang hanya orang biasa toh
tetap memiliki kesempatan untuk meraih syurga-Nya, meski aku hanya orang biasa
aku pun masih bisa memilih untuk menjadi orang yang baik, meski aku tak dapat
memilih dilahirkan oleh siapa… meski aku tak dapat memilih untuk menjadi sama
sepertimu… tapi dengan segala perbedaan yang aku miliki, Tuhan telah
membentangkan begitu banyak pilihan baik yang dapat aku raih. Meski mungkin tak
ada darah Rasulullah saw yang mengalir di dalam urat nadiku seperti layaknya
kamu dan keluargamu, aku tetap dapat meraih cintanya… aku tetap boleh berharap
untuk mendapat syafaatnya diakhirat kelak.
Disaat Tuhan hanya melihat iman dan
taqwa, mengapa manusia justru memilih banyak membeda…?
Banjarbaru, 03.00 pm
Rabu, 17 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar