Aku masih tepekur dalam
diam diatas sajadah, ah… rasa ini kembali hadir tanpa diminta. Seseorang nun
jauh disana sering kali menjadi penyebab munculnya sebuah rasa yang tak dapat
ku tepis, sebuah rasa rindu yang tercipta oleh karena ribuan jarak yang
membentang, terpisah oleh luas samudera, raga kami berada di antara dua benua
yang berbeda.
Perkenalanku dengannya
berawal dari dunia maya beberapa tahun silam, entah mengapa dari sekian banyak
teman, ia begitu menarik perhatianku. Sekilas ku lihat fotonya yang terpampang,
sederhana namun wajahnya cukup menarik dengan seulas senyum. Awalnya kami tak
banyak berbicara namun seiring waktu entah mengapa akhirnya hubungan kami jadi
lebih dekat, meski hanya sekedar obrolan ringan di dunia maya. Dari percakapan
kami, kuketahui bahwa pada saat itu ia sedang berada jauh dari tempat
tinggalnya. Demi keinginan memperdalam ilmu agama, ia harus rela meninggalkan
tanah air. Berada di negri orang dengan keadaan yang berbeda dari negri
sendiri, Indonesia… tentu tidaklah mudah terlebih lagi tempatnya menuntut ilmu
adalah daerah dengan cuaca yang sangat panas, sejauh mata memandang yang ada
hanya hamparan gurun pasir. Dari cerita yang pernah kudengar, keadaan disana
kadang sangat tidak bersahabat. Bisa kalian bayangkan bagaimana teriknya, yang
seandainya telur dijemur bisa menjadi matang dalam hitungan menit, bagaimana
air begitu sulit karena hujan hanya turun dua atau lima kali dalam setahun, dan
jika memasuki musim dingin… sehelai selimut takkan mampu menghalau dingin yang
menusuk kulit, efek yang ditimbulkan pada tubuh yang tak tahan dengan cuaca
ekstrim ini bisa sampai membuat orang mimisan*. Namun, dari sekian banyak tantangan
yang mungkin dihadapi… banyak pula hal-hal baik yang dapat ditemui. Panasnya
suhu disana mungkin telah tersapu oleh sejuknya kata-kata dari lisan para
orang-orang sholeh… mungkin tak terasa oleh karena nilai-nilai islam yang masih
terjaga, hujan yang menjadi sangat langka disana telah Allah ganti dengan
keberkahan dari doa Sayyidina Abu Bakar Shiddiq di masa lampau. Konon, jaman
dahulu Sayyidina Abu Bakar Shiddiq mendoakan warga Tarim dengan tiga hal yaitu
semoga kota tersebut menjadi kota yang makmur, air yang berkah serta
diperbanyaknya orang-orang sholeh… Dan dengan kekuasaannya Allah, ia
mengabulkan doa tersebut sehingga sampai sekarang meski hujan turun hanya
beberapa kali dalam setahun namun warga disana tidak pernah kesulitan dalam
mendapatkan air. Sungguh Allah maha berkuasa atas segala sesuatu.
Ia memilih menuntut
ilmu di salah satu sudut kota di negeri Yaman, kota kecil yang menjadi bagian
dari provinsi Handramaut. Meski kota tersebut keadaannya masih sangat sederhana
namun disanalah tempat berkumpulnya para wali dan auliya Allah maka tak heran
jika dijuluki sebagai bumi para wali. Jangan membayangkan kehidupan disana yang
mewah serta hedonis, cukup bayangkan bagaimana keadaan negara kita di era 80an,
itu sudah mewakili tentang kondisi disana. Ya… masih sangat sederhana untuk
ukuran sebuah kota di jaman sekarang yang sudah semakin canggih. Ditengah
kesederhanaan itu ada hal yang membuat saya tak henti berdecak kagum, bagaimana
tidak… saat sebagian besar orang atau negara muslim mulai terseret arus jaman
yang kian jauh dari nilai-nilai islam, mereka lah yang dengan kuat memegang
teguh serta menjaga nilai-nilai islam
yang kian hari makin luntur. Hal ini
tercermin dari budaya serta perilaku warga kota Tarim, bagaimana mereka
selalu bergegas memenuhi panggilan adzan ketika telah berkumandang, mengatur
pasar sedemikian rupa agar tak bercampur antara laki-laki dan perempuan, serta
wajah-wajah cantik khas arab yang senantiasa terhijab oleh burga dan cadar.
Para perempuan disana memang sangat terjaga, mereka tidak diperbolehkan
sembarangan keluar. Warga Tarim adalah orang-orang yang ikhlas dan lebih
mengutamakan husnudzon kepada sesama maupun sang pencipta.
Aku selalu senang tiap
kali mendengar cerita tentang kehidupannya disana, tentang kesibukannya dalam
mengaji dan belajar, bahkan terkadang aku iri dengannya. Bagaimanapun lelahnya
ia dalam menuntut ilmu namun itu menjadi sesuatu yang amat berharga karena
setiap ia mendapatkan ilmu baru maka akan semakin mendekatkan ia pada Rabbnya,
sungguh aku iri dan miris ketika menyadari hal itu berbanding terbalik dengan
keadaanku disini, jika sudah sibuk dengan tugas kuliah yang ada justru
membuatku lupa akan akhirat, sholat jadi tak khusyu karena selalu terbayang
tugas yang seakan tak ada habisnya, aku lelah tidak hanya secara fisik tapi
juga batin, maka jika sudah seperti itu ingin rasanya berteriak dan mengatakan
kepada mereka yang menuntut ilmu agama untuk senantiasa bersyukur, bandingkan
dengan kami yang bergelut dengan ilmu dunia. Ya… meski aku percaya bahwa tak
ada ilmu yang sia-sia selama membawa kebaikan tapi tetap saja akan berbeda
rasa.
Suatu hari pernah ia
bercerita tentang orang-orang disana, ketika sedang berjalan disebuah pasar, ia
melihat sesosok laki-laki dengan tas cangklong dan pakaian yang lusuh sedang
berjalan, seandainya orang yang tak mengetahui siapa dia mungkin akan mengira
hanya orang biasa, padahal kenyataannya laki-laki sederhana dengan tas
cangklong itu adalah seorang mufti*. Selain itu ada pula beberapa kuli bangunan
yang ternyata mereka telah hafal beberapa juz al-qur’an, Subhanallah… setiap
mendengar kisah tentang orang-orang disana semakin membuat keimananku
bertambah, selalu ada ibrah yang dapat diambil. Tak heran mengapa Allah
melimpahkan berkahnya ditanah tersebut. Sungguh betapa beruntungnya ia bisa
berkumpul dengan orang-orang sholeh dan belajar ditempat yang penuh berkah. Ilmu
yang diperoleh dari guru yang sanadnya terhubung dengan Rasulullah saw, tidak
semua orang bisa mendapatkan kesempatan seperti itu. Bagaimana aku tidak kagum,
ia masih muda dan memiliki pengetahuan agama. Jika dibandingkan denganku,
rasanya hanya akan membuat diri sendiri malu. Menurutku ia berbeda dengan
kebanyakan pemuda disini, saat orang lain sedang sibuk menikmati masa mudanya
dengan hura-hura, disana mungkin ia sedang berkutat dengan kitab-kitab untuk
menelaah atau belajar ilmu fiqih, saat kutanya tentang sebuah tafsir al-qur’an
dengan rendah diri ia mengatakan bahwa ia tak berani untuk menjelaskan karena
tidak sembarangan orang boleh menafsirkan ayat al-qur’an. Sedangkan disini banyak
orang-orang atau pemuda yang dengan mudahnya mengaluarkan dalil-dalil atau
ayat-ayat hanya karena merasa sudah paham tentang agama lalu dengan seenaknya
berkata-kata, padahal ia sendiri belum tentu paham akan maknanya.
Seiring waktu berjalan, pelan tapi pasti…
pertemanan yang telah terjalin memunculkan rasa yang indah dihati, aku tak
berani mengatakan itu cinta namun sebuah kebohongan jika kukatakan aku tak
menyukainya. Entah bagaimana bermula, rindu itu kadang-kadang merasuk kalbu
jika aku lama tak bertegur sapa atau sekedar mengetahui kabarnya. Makin lama,
ia makin mengurangi intensitasnya hadir di dunia maya karena memang peraturan
ditempat ia belajar melarang penggunaan handphone atau internet setiap hari.
Aku berusaha memahami kondisinya meski harus menahan rasa rindu sekuat tenaga…
dan sapaannya akan menjadi sesuatu yang sangat kunantikan.
Jika sudah terlalu
lelah menahan segala rasa yang kupendam untuknya, aku hanya mampu menguntai
bait-bait doa yang kupanjatkan setiap usai sholat, melalui doa kutitipkan ia
kepada sang Maha Penjaga Segalanya. Entah mengapa setelah berdoa beban yang
tadinya berat terasa ringan seketika. Mungkin hanya dengan inilah caraku
menyayanginya, dengan saling mendoakan dalam kebaikan meski berjauhan… berharap
doa yang kuucap lirih dihadapan-Nya dijabah. Sengaja kusembunyikan, rasanya tak
perlu menunjukkan bahwa aku selalu menyematkan namanya ketika tanganku tengadah
memohon doa karena aku percaya doa yang tersembunyi lebih maqbul daripada doa
yang diketahui.
Allah memang selalu
mendengar dan mengetahui, ia tak mengabaikan apa yang aku pinta, ini semakin ku
yakini saat kejadian yang sama terjadi berulang kali. Pernah dulu, ketika
seusai shalat ashar kusempatkan memanjatkan doa untuknya yang jauh disana, dengan
lirih dipenghujung doa ku ucapkan “Allah… aku merindukannya, jaga dia dan
berkahi ilmunya”, sekedar melegakan rasa sesak yang menghimpit oleh rasa rindu.
Entah sudah berapa bulan lamanya ia tak ada kabar. Selang beberapa menit
berlalu, aku diam sambil duduk ditepi tempat tidur, iseng ku buka inbox untuk
mengecek pesan yang masuk. Aku terperanjat membaca pesan yang baru saja muncul,
“Hei…apa kabar?”. Singkat tapi mampu membuat tubuhku diam mematung, sambil
mengerjapkan mata aku baca berulang-ulang untuk meyakinkan diri bahwa aku tak
salah, aku memang tak salah melihat… pesan itu memang darinya. Seketika ada
bahagia yang menyeruak, hatiku rasanya berubah menjadi ice cream yang manis dan
dengan sekejap meleleh. Mungkin terkesan sepele bagi orang lain, ah… tapi
bagiku?! Kecil saja, tapi itulah… Tuhan selalu punya cara yang unik untuk
membuat hambanya bahagia. Kejadian seperti ini tidak hanya sekali namun terjadi
berulang kali. Apakah suatu kebetulan? Aku pikir tak ada kebetulan yang terjadi
berulang kali, dan tak ada suatu kejadian pun yang terjadi tanpa seizin-Nya.
Peristiwa lain terjadi
tepat pada bulan ramadhan, saat subuh baru saja berlalu dan mentari mulai
menampakkan sinarnya… saat aku usai menutupkan halaman al-qur’an yang baru saja
ku baca. Dalam kesendirian tiba-tiba saja ia muncul dibenakku, pikiranku
melayang jauh ke negri sebrang tempat ia berada, aku terhenyak. Dering telpon membuatku
tersadar dari lamunan dan kemudian tanganku refleks meraihnya. Aku sempat
bertanya dalam hati, siapa yang menelpon sepagi ini. Kucoba saja menjawab,
sayup-sayup terdengar suara diujung telpon sana, suara laki-laki dan ketika aku
menyadari siapa yang sebenarnya menelpon, seketika getar itu hadir. Aku hanya mampu
tersenyum. Rasanya baru beberapa detik yang lalu terbayang dan dalam sekejap
Allah menghadirkannya, betapa aku bahagia bisa mendengar suaranya… mendengar
kabar bahwa ia baik-baik saja disana, aku tau tak mudah baginya untuk bisa
menghubungiku melalui telpon karena ketatnya peraturan serta biaya yang mahal
untuk melakukan telpon ke luar negri, dan itu membuatku semakin bersyukur
karena ia masih menyempatkan waktu untuk tetap menjaga tali silaturrahim. Takkan
sanggup aku menggambarkan rasa bahagia pada saaat itu, namun melalui syukurlah
caraku berterima kasih kepada Allah atas segala doa yang ia kabulkan, atas
segala pinta yang ia penuhi.
Doa ibarat
tetesan-tetesan air ditengah padang tandus, memberi kekuatan saat diri kian
lelah, doa adalah cara yang indah untuk kita berbicara dengan-Nya. Tak salah
rasanya jika ada sebuah hadist yang mengatakan bahwa senjata orang mukmin
adalah doa. Saat kita terhimpit oleh kesusahan maka doa akan menjadi secercah
harapan untuk sebuah keajaiban, doa adalah cara kita meminta kepada Allah tanpa
harus merasa malu atau sungkan karena betapa Allah menyenangi orang-orang yang
banyak berdoa, dengan berdoa kita merasakan keberadaan-Nya… percaya akan kekuasaan-Nya.
Dulu… setiap aku
merindukannya maka akan ku bawa namanya dalam setiap doa-doa, mungkin… doa pula
yang mampu membuatku bertahan memendam segala rasa yang ada. Doa adalah wujud
lain dari caraku menyayanginya, yang ketika lirih ku bisikkan pada Rabbku… ia
seakan membelai-belai hatiku yang bisu. Saat rindu terasa begitu kejam menyiksa
batin, doa menjadi penghalau segala resah… ia adalah secuil asa ditengah
keyakinan yang kian menipis. Doa akan selalu menjadi perisai bagi diri dari
segala hal buruk yang mungkin saja terjadi.
Mufti =
Ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan
fatwa kepada umat.
Mimisan= Suatu keadaan pendarahan dari
hidung yang keluar melalui lubang hidung
(Dalam Antalogi Keajaiban Doa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar