Rabu, 05 Februari 2014

Getar-Getar Doa di Tanah Yaman


Aku masih tepekur dalam diam diatas sajadah, ah… rasa ini kembali hadir tanpa diminta. Seseorang nun jauh disana sering kali menjadi penyebab munculnya sebuah rasa yang tak dapat ku tepis, sebuah rasa rindu yang tercipta oleh karena ribuan jarak yang membentang, terpisah oleh luas samudera, raga kami berada di antara dua benua yang berbeda.
Perkenalanku dengannya berawal dari dunia maya beberapa tahun silam, entah mengapa dari sekian banyak teman, ia begitu menarik perhatianku. Sekilas ku lihat fotonya yang terpampang, sederhana namun wajahnya cukup menarik dengan seulas senyum. Awalnya kami tak banyak berbicara namun seiring waktu entah mengapa akhirnya hubungan kami jadi lebih dekat, meski hanya sekedar obrolan ringan di dunia maya. Dari percakapan kami, kuketahui bahwa pada saat itu ia sedang berada jauh dari tempat tinggalnya. Demi keinginan memperdalam ilmu agama, ia harus rela meninggalkan tanah air. Berada di negri orang dengan keadaan yang berbeda dari negri sendiri, Indonesia… tentu tidaklah mudah terlebih lagi tempatnya menuntut ilmu adalah daerah dengan cuaca yang sangat panas, sejauh mata memandang yang ada hanya hamparan gurun pasir. Dari cerita yang pernah kudengar, keadaan disana kadang sangat tidak bersahabat. Bisa kalian bayangkan bagaimana teriknya, yang seandainya telur dijemur bisa menjadi matang dalam hitungan menit, bagaimana air begitu sulit karena hujan hanya turun dua atau lima kali dalam setahun, dan jika memasuki musim dingin… sehelai selimut takkan mampu menghalau dingin yang menusuk kulit, efek yang ditimbulkan pada tubuh yang tak tahan dengan cuaca ekstrim ini bisa sampai membuat orang mimisan*. Namun, dari sekian banyak tantangan yang mungkin dihadapi… banyak pula hal-hal baik yang dapat ditemui. Panasnya suhu disana mungkin telah tersapu oleh sejuknya kata-kata dari lisan para orang-orang sholeh… mungkin tak terasa oleh karena nilai-nilai islam yang masih terjaga, hujan yang menjadi sangat langka disana telah Allah ganti dengan keberkahan dari doa Sayyidina Abu Bakar Shiddiq di masa lampau. Konon, jaman dahulu Sayyidina Abu Bakar Shiddiq mendoakan warga Tarim dengan tiga hal yaitu semoga kota tersebut menjadi kota yang makmur, air yang berkah serta diperbanyaknya orang-orang sholeh… Dan dengan kekuasaannya Allah, ia mengabulkan doa tersebut sehingga sampai sekarang meski hujan turun hanya beberapa kali dalam setahun namun warga disana tidak pernah kesulitan dalam mendapatkan air. Sungguh Allah maha berkuasa atas segala sesuatu. 
Ia memilih menuntut ilmu di salah satu sudut kota di negeri Yaman, kota kecil yang menjadi bagian dari provinsi Handramaut. Meski kota tersebut keadaannya masih sangat sederhana namun disanalah tempat berkumpulnya para wali dan auliya Allah maka tak heran jika dijuluki sebagai bumi para wali. Jangan membayangkan kehidupan disana yang mewah serta hedonis, cukup bayangkan bagaimana keadaan negara kita di era 80an, itu sudah mewakili tentang kondisi disana. Ya… masih sangat sederhana untuk ukuran sebuah kota di jaman sekarang yang sudah semakin canggih. Ditengah kesederhanaan itu ada hal yang membuat saya tak henti berdecak kagum, bagaimana tidak… saat sebagian besar orang atau negara muslim mulai terseret arus jaman yang kian jauh dari nilai-nilai islam, mereka lah yang dengan kuat memegang teguh  serta menjaga nilai-nilai islam yang kian hari makin luntur. Hal ini  tercermin dari budaya serta perilaku warga kota Tarim, bagaimana mereka selalu bergegas memenuhi panggilan adzan ketika telah berkumandang, mengatur pasar sedemikian rupa agar tak bercampur antara laki-laki dan perempuan, serta wajah-wajah cantik khas arab yang senantiasa terhijab oleh burga dan cadar. Para perempuan disana memang sangat terjaga, mereka tidak diperbolehkan sembarangan keluar. Warga Tarim adalah orang-orang yang ikhlas dan lebih mengutamakan husnudzon kepada sesama maupun sang pencipta.
Aku selalu senang tiap kali mendengar cerita tentang kehidupannya disana, tentang kesibukannya dalam mengaji dan belajar, bahkan terkadang aku iri dengannya. Bagaimanapun lelahnya ia dalam menuntut ilmu namun itu menjadi sesuatu yang amat berharga karena setiap ia mendapatkan ilmu baru maka akan semakin mendekatkan ia pada Rabbnya, sungguh aku iri dan miris ketika menyadari hal itu berbanding terbalik dengan keadaanku disini, jika sudah sibuk dengan tugas kuliah yang ada justru membuatku lupa akan akhirat, sholat jadi tak khusyu karena selalu terbayang tugas yang seakan tak ada habisnya, aku lelah tidak hanya secara fisik tapi juga batin, maka jika sudah seperti itu ingin rasanya berteriak dan mengatakan kepada mereka yang menuntut ilmu agama untuk senantiasa bersyukur, bandingkan dengan kami yang bergelut dengan ilmu dunia. Ya… meski aku percaya bahwa tak ada ilmu yang sia-sia selama membawa kebaikan tapi tetap saja akan berbeda rasa.
Suatu hari pernah ia bercerita tentang orang-orang disana, ketika sedang berjalan disebuah pasar, ia melihat sesosok laki-laki dengan tas cangklong dan pakaian yang lusuh sedang berjalan, seandainya orang yang tak mengetahui siapa dia mungkin akan mengira hanya orang biasa, padahal kenyataannya laki-laki sederhana dengan tas cangklong itu adalah seorang mufti*. Selain itu ada pula beberapa kuli bangunan yang ternyata mereka telah hafal beberapa juz al-qur’an, Subhanallah… setiap mendengar kisah tentang orang-orang disana semakin membuat keimananku bertambah, selalu ada ibrah yang dapat diambil. Tak heran mengapa Allah melimpahkan berkahnya ditanah tersebut. Sungguh betapa beruntungnya ia bisa berkumpul dengan orang-orang sholeh dan belajar ditempat yang penuh berkah. Ilmu yang diperoleh dari guru yang sanadnya terhubung dengan Rasulullah saw, tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan seperti itu. Bagaimana aku tidak kagum, ia masih muda dan memiliki pengetahuan agama. Jika dibandingkan denganku, rasanya hanya akan membuat diri sendiri malu. Menurutku ia berbeda dengan kebanyakan pemuda disini, saat orang lain sedang sibuk menikmati masa mudanya dengan hura-hura, disana mungkin ia sedang berkutat dengan kitab-kitab untuk menelaah atau belajar ilmu fiqih, saat kutanya tentang sebuah tafsir al-qur’an dengan rendah diri ia mengatakan bahwa ia tak berani untuk menjelaskan karena tidak sembarangan orang boleh menafsirkan ayat al-qur’an. Sedangkan disini banyak orang-orang atau pemuda yang dengan mudahnya mengaluarkan dalil-dalil atau ayat-ayat hanya karena merasa sudah paham tentang agama lalu dengan seenaknya berkata-kata, padahal ia sendiri belum tentu paham akan maknanya.
 Seiring waktu berjalan, pelan tapi pasti… pertemanan yang telah terjalin memunculkan rasa yang indah dihati, aku tak berani mengatakan itu cinta namun sebuah kebohongan jika kukatakan aku tak menyukainya. Entah bagaimana bermula, rindu itu kadang-kadang merasuk kalbu jika aku lama tak bertegur sapa atau sekedar mengetahui kabarnya. Makin lama, ia makin mengurangi intensitasnya hadir di dunia maya karena memang peraturan ditempat ia belajar melarang penggunaan handphone atau internet setiap hari. Aku berusaha memahami kondisinya meski harus menahan rasa rindu sekuat tenaga… dan sapaannya akan menjadi sesuatu yang sangat kunantikan.
Jika sudah terlalu lelah menahan segala rasa yang kupendam untuknya, aku hanya mampu menguntai bait-bait doa yang kupanjatkan setiap usai sholat, melalui doa kutitipkan ia kepada sang Maha Penjaga Segalanya. Entah mengapa setelah berdoa beban yang tadinya berat terasa ringan seketika. Mungkin hanya dengan inilah caraku menyayanginya, dengan saling mendoakan dalam kebaikan meski berjauhan… berharap doa yang kuucap lirih dihadapan-Nya dijabah. Sengaja kusembunyikan, rasanya tak perlu menunjukkan bahwa aku selalu menyematkan namanya ketika tanganku tengadah memohon doa karena aku percaya doa yang tersembunyi lebih maqbul daripada doa yang diketahui. 
Allah memang selalu mendengar dan mengetahui, ia tak mengabaikan apa yang aku pinta, ini semakin ku yakini saat kejadian yang sama terjadi berulang kali. Pernah dulu, ketika seusai shalat ashar kusempatkan memanjatkan doa untuknya yang jauh disana, dengan lirih dipenghujung doa ku ucapkan “Allah… aku merindukannya, jaga dia dan berkahi ilmunya”, sekedar melegakan rasa sesak yang menghimpit oleh rasa rindu. Entah sudah berapa bulan lamanya ia tak ada kabar. Selang beberapa menit berlalu, aku diam sambil duduk ditepi tempat tidur, iseng ku buka inbox untuk mengecek pesan yang masuk. Aku terperanjat membaca pesan yang baru saja muncul, “Hei…apa kabar?”. Singkat tapi mampu membuat tubuhku diam mematung, sambil mengerjapkan mata aku baca berulang-ulang untuk meyakinkan diri bahwa aku tak salah, aku memang tak salah melihat… pesan itu memang darinya. Seketika ada bahagia yang menyeruak, hatiku rasanya berubah menjadi ice cream yang manis dan dengan sekejap meleleh. Mungkin terkesan sepele bagi orang lain, ah… tapi bagiku?! Kecil saja, tapi itulah… Tuhan selalu punya cara yang unik untuk membuat hambanya bahagia. Kejadian seperti ini tidak hanya sekali namun terjadi berulang kali. Apakah suatu kebetulan? Aku pikir tak ada kebetulan yang terjadi berulang kali, dan tak ada suatu kejadian pun yang terjadi tanpa seizin-Nya.
Peristiwa lain terjadi tepat pada bulan ramadhan, saat subuh baru saja berlalu dan mentari mulai menampakkan sinarnya… saat aku usai menutupkan halaman al-qur’an yang baru saja ku baca. Dalam kesendirian tiba-tiba saja ia muncul dibenakku, pikiranku melayang jauh ke negri sebrang tempat ia berada, aku terhenyak. Dering telpon membuatku tersadar dari lamunan dan kemudian tanganku refleks meraihnya. Aku sempat bertanya dalam hati, siapa yang menelpon sepagi ini. Kucoba saja menjawab, sayup-sayup terdengar suara diujung telpon sana, suara laki-laki dan ketika aku menyadari siapa yang sebenarnya menelpon, seketika getar itu hadir. Aku hanya mampu tersenyum. Rasanya baru beberapa detik yang lalu terbayang dan dalam sekejap Allah menghadirkannya, betapa aku bahagia bisa mendengar suaranya… mendengar kabar bahwa ia baik-baik saja disana, aku tau tak mudah baginya untuk bisa menghubungiku melalui telpon karena ketatnya peraturan serta biaya yang mahal untuk melakukan telpon ke luar negri, dan itu membuatku semakin bersyukur karena ia masih menyempatkan waktu untuk tetap menjaga tali silaturrahim. Takkan sanggup aku menggambarkan rasa bahagia pada saaat itu, namun melalui syukurlah caraku berterima kasih kepada Allah atas segala doa yang ia kabulkan, atas segala pinta yang ia penuhi.
Doa ibarat tetesan-tetesan air ditengah padang tandus, memberi kekuatan saat diri kian lelah, doa adalah cara yang indah untuk kita berbicara dengan-Nya. Tak salah rasanya jika ada sebuah hadist yang mengatakan bahwa senjata orang mukmin adalah doa. Saat kita terhimpit oleh kesusahan maka doa akan menjadi secercah harapan untuk sebuah keajaiban, doa adalah cara kita meminta kepada Allah tanpa harus merasa malu atau sungkan karena betapa Allah menyenangi orang-orang yang banyak berdoa, dengan berdoa kita merasakan keberadaan-Nya… percaya akan kekuasaan-Nya.
Dulu… setiap aku merindukannya maka akan ku bawa namanya dalam setiap doa-doa, mungkin… doa pula yang mampu membuatku bertahan memendam segala rasa yang ada. Doa adalah wujud lain dari caraku menyayanginya, yang ketika lirih ku bisikkan pada Rabbku… ia seakan membelai-belai hatiku yang bisu. Saat rindu terasa begitu kejam menyiksa batin, doa menjadi penghalau segala resah… ia adalah secuil asa ditengah keyakinan yang kian menipis. Doa akan selalu menjadi perisai bagi diri dari segala hal buruk yang mungkin saja terjadi.

Mufti    = Ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks dan memberikan fatwa kepada umat.
Mimisan= Suatu keadaan pendarahan dari hidung yang keluar melalui lubang hidung

(Dalam Antalogi Keajaiban Doa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar