Saat itu umurnya belum genap 2 tahun, ketika ia sedang mulai
belajar untuk berjalan...Dimana orang-orang disekitar begitu sayang dan gemas
padanya. Ia masih terlalu kecil untuk menghadapi kejadian pada hari itu.
Ayahnya yang sedang dalam perjalanan menggunakan sepeda motor bertabrakan
dengan dua buah truk dari arah depan dan belakang hingga menyebabkan gegar otak
dan patah tulang, koma dalam beberapa jam namun tak cukup kuat bertahan hingga
akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Ia yang pada saat itu
berada dalam pelukan ibunya hanya bisa menggapai-gapai dengan tangan kecilnya
sembari bergumam lirih “abah...”, menatap seseorang yang telah terbujur kaku
dengan berlumuran darah, sang ibu hanya mampu meneteskan air mata.
Dalam usia yang begitu muda ia sudah harus merasakan kehilangan.
Seiring dengan berjalannya waktu, si ibu memutuskan untuk menikah lagi
dengan pertimbangan berbagai faktor terlebih karena anaknya masih kecil dan
memerlukan sosok ayah. Perkawinan mereka bertahan selama beberapa tahun hingga
akhirnya kejadian itu terulang kembali, ketika sang anak duduk di bangku
sekolah dasar kelas 5. Serangan jantung mengakibatkan ayah tirinya meninggal
secara mendadak, tak ada yang menyangka karena sebelumnya tak ada keluhan sakit
dan semuanya terlihat baik-baik saja. Ya Allah... kembali adik kecilku yang
lucu harus menghadapi kehilangan sosok yang ia sayangi.
Pada hari ayah tirinya meninggal, ia terlihat biasa-biasa
saja...hanya diam namun tak terlihat air mata mengalir dari kedua matanya yang
bening padahal orang-orang sangat iba terhadap dirinya. Aku sempat berfikir
bahwa dia baik-baik saja dan tak terlalu sedih bahkan setelah kejadian itu ia
kembali seperti sediakala, bermain dan tetap ceria...sampai suatu ketika seusai
ia pulang sekolah dan mampir ke rumahku. Aku yang biasanya memang suka
“mengacak-acak” isi tasnya sembari membuka buku catatannya, awalnya hanya iseng
sekedar ingin tahu nilai-nilai yang ia dapat...lembar demi lembar aku buka dari
sebuah buku, sontak mataku tertuju pada sebuah kalimat “saya sedih ketika ayah
saya meninggal...”
Jleb...seakan ada sebuah benda tajam yang menusuk tepat di ulu hati,
pedih...Perkiraanku meleset! Sekuat tenaga aku menahan butiran bening di
pelupuk mata yang siap tumpah, buru-buru aku tutup buku tersebut.
“Jangan diliatin, tulisannya jelek...!” ucapnya sambil merebut buku yang
ada di tanganku.
Ya Tuhan...entah terbuat dari apa hati anak kecil ini...Ia masih polos
ketika harus menghadapi kehilangan demi kehilangan.
Dik ajarkan kakak untuk menjadi kuat sepertimu...
Bagaimana mungkin kamu sekuat itu mampu menyembunyikan luka tanpa pernah
orang-orang disekitarmu mengetahuinya...? dalam diam...dalam ceriamu...tanpa
air mata.
Banjarbaru, 10.15
pm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar