Ma… betapa banyak hal
yang tak lagi dapat kubagi denganmu, aku bukan anak SMA seperti dulu yang
dengan mudahnya bercerita saat aku kesal atau sedih dan tanpa malu menumpahkan
airmata dalam pelukanmu. Aku kini telah beranjak dewasa, mulai bisa memilah
mana yang layak kuceritakan padamu, mana yang harus kusimpan seorang diri.
Bahkan terkadang aku terlalu malu untuk menunjukkan air mata dihadapanmu hingga
akhirnya aku lebih menyembunyikannya di malam-malam sepi atau saat aku sedang
bermunajat dihadapan-Nya. Aku mulai pintar menyembunyikan luka dan setiap
masalah yang terjadi dalam hidupku, meski terkadang aku berpikir bahwa engkau
dapat merasakan apa yang aku rasakan tapi aku tetap menyimpannya dengan rapat.
Bukan karena pelukanmu tak lagi nyaman atau bahumu tak lagi kokoh untukku
bersandar, tapi aku pikir sudah saatnya aku berdiri sendiri dan menjadi kuat
dengan apapun yang aku hadapi. Cukup rasanya jika hal-hal baik saja yang kubagi
denganmu.
Ma… ada kalanya anakmu
berada di titik lelah, saat ia merasa tak ada tempat berbagi, tak ada telinga
yang bersedia mendengarkan, saat tak ada hati yang mampu merasakan sama seperti
yang ia rasakan. Terkadang kakinya terlalu lemah untuk melangkah, hatinya tak
lagi ingin terlalu berharap pada apa-apa yang ada didunia, karena sebanyak ia
berharap sebanyak itu pula ia kecewa. Dan rasa kecewa itu tak pernah ingin ia
tunjukkan padamu, terlalu banyak luka dihatinya yang ia tutupi dengan ucapan
“Ma… aku baik-baik saja”.
Ma… mungkin saat kau
mengira aku baik-baik saja, sebenarnya diriku sedang terpuruk jatuh. Aku
benar-benar letih karena tak kunjung menemukan seseorang yang bisa menjadi
tempat berbagi layaknya dirimu dahulu. Entah kapan terakhir aku bercerita
tentang seseorang yang aku sukai padamu, aku memilih bungkam seribu bahasa saat
ada seorang laki-laki yang begitu kuharapkan akhirnya memilih bahagia dengan
wanita lain. Sungguh aku tak mampu
membagi hal tersebut denganmu ma… aku tak ingin kamu merasakan luka hatiku,
terlalu menyakitkan jika harus kuceritakan padamu. Aku tahu, takkan ada seorang
ibu yang tega melihat anaknya terluka karena ditinggalkan oleh orang yang ia
sayangi. Meski sebenarnya, aku sangat ingin menumpahkan segala rasa sakit ini
dalam pelukanmu.
Ma… jangan khawatir,
anakmu sedang belajar untuk menjadi lebih kuat, ia takkan hancur hanya karena
suatu hal yang tak dapat meruntuhkannya. Ia akan selalu berusaha untuk bangkit
setiap kali jatuh. Telah ia putuskan untuk meninggalkan luka yang pernah membuatnya
tak berdaya. Hanya saja, jangan paksa ia untuk segera meninggalkan kesendirian
saat banyak teman-temannya telah bahagia karena menemukan jodoh mereka. Bukan
karena tak mau, melainkan karena kesendirian terkadang menjadi pilihan yang
lebih baik baginya.
Ma… aku tahu, engkau
sudah sangat ingin melihatku bahagia seperti mereka agar ada seseorang yang
bisa menjagaku, menyanyangiku dengan tulus layaknya dirimu, sungguh akupun
sangat merindukan seseorang itu, yang hingga saat ini masih Tuhan jaga sampai
waktunya tiba nanti. Terkadang aku mulai lelah untuk menunggunya, seperti saat
ini. Sungguh aku lelah harus berkali-kali berharap dengan mereka yang datang
namun justru dengan mudahnya pergi begitu saja saat aku mulai membuka hati.
Sepertinya bukan suatu masalah bagi mereka datang dan pergi dalam kehidupan
orang lain dengan meninggalkan luka dimana-mana. Perlahan kepercayaaan dan
harapanku mulai terkikis, begitu tipis asa yang tersisa, timbul tenggelam dalam
lautan duka namun aku ingin terus percaya akan janji-Nya bahwa segala
sesuatunya telah digariskan, bahwa perempuan yang baik untuk laki-laki yang
baik. Tuhan lebih tahu batas kemampuan umatnya, meski saat ini aku merasa
begitu letih mungkin masih tersisa kekuatan hingga nanti Tuhan pertemukan aku
dengannya.
Ma…aku sungguh
menghargai jerih payahmu untuk mencarikanku seseorang, namun jika pada saat itu
aku katakan ”tidak” atas pilihanmu, percayalah itu bukan berarti aku ingin
membuatmu kecewa, hanya saja aku perlu waktu untuk menata hati dan kembali membangun
kepercayaan terhadap seseorang, karena perih oleh luka kemarin masih terasa dan
aku pikir tak perlu tergesa-gesa membuka hati daripada harus merasakan kecewa
lagi. Kuharap kau bisa memahami, bukanlah hal yang mudah untuk kembali mencoba
membuka diri kepada orang baru, rasanya terlalu lelah harus mengenal seseorang
dari awal lagi.
Ma… seringkali aku
merasakan sepi ini seperti ingin membunuhku secara perlahan-lahan, tapi… sepi
juga memberiku ruang untuk melepaskan segala yang ku rasa, ia menjadi jeda saat
penat. Aku sering menepi bersamanya, menumpahkan ribuan tetes air mata tanpa
pernah takut akan rasa malu. Tiba-tiba saja, aku merasa akrab dengan kesepian.
Biarlah untuk sesaat saja, izinkan aku menyendiri.
Ma… jika aku harus
memelukmu atau menangis dihadapanmu, aku harap itu adalah pelukan dan tangisan
bahagia bukan karena rasa sedih, kecewa, atau luka yang aku rasakan. Jika harus
ada luka lagi, seperti yang sudah-sudah… cukuplah aku yang menanggungnya seorang
diri.
Banjarbaru, 03.33 am
Jum’at, 9 Mei 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar