Senin, 16 Juni 2014

Mom… Sorry I never told you



Ma… betapa banyak hal yang tak lagi dapat kubagi denganmu, aku bukan anak SMA seperti dulu yang dengan mudahnya bercerita saat aku kesal atau sedih dan tanpa malu menumpahkan airmata dalam pelukanmu. Aku kini telah beranjak dewasa, mulai bisa memilah mana yang layak kuceritakan padamu, mana yang harus kusimpan seorang diri. Bahkan terkadang aku terlalu malu untuk menunjukkan air mata dihadapanmu hingga akhirnya aku lebih menyembunyikannya di malam-malam sepi atau saat aku sedang bermunajat dihadapan-Nya. Aku mulai pintar menyembunyikan luka dan setiap masalah yang terjadi dalam hidupku, meski terkadang aku berpikir bahwa engkau dapat merasakan apa yang aku rasakan tapi aku tetap menyimpannya dengan rapat. Bukan karena pelukanmu tak lagi nyaman atau bahumu tak lagi kokoh untukku bersandar, tapi aku pikir sudah saatnya aku berdiri sendiri dan menjadi kuat dengan apapun yang aku hadapi. Cukup rasanya jika hal-hal baik saja yang kubagi denganmu.
Ma… ada kalanya anakmu berada di titik lelah, saat ia merasa tak ada tempat berbagi, tak ada telinga yang bersedia mendengarkan, saat tak ada hati yang mampu merasakan sama seperti yang ia rasakan. Terkadang kakinya terlalu lemah untuk melangkah, hatinya tak lagi ingin terlalu berharap pada apa-apa yang ada didunia, karena sebanyak ia berharap sebanyak itu pula ia kecewa. Dan rasa kecewa itu tak pernah ingin ia tunjukkan padamu, terlalu banyak luka dihatinya yang ia tutupi dengan ucapan “Ma… aku baik-baik saja”.
Ma… mungkin saat kau mengira aku baik-baik saja, sebenarnya diriku sedang terpuruk jatuh. Aku benar-benar letih karena tak kunjung menemukan seseorang yang bisa menjadi tempat berbagi layaknya dirimu dahulu. Entah kapan terakhir aku bercerita tentang seseorang yang aku sukai padamu, aku memilih bungkam seribu bahasa saat ada seorang laki-laki yang begitu kuharapkan akhirnya memilih bahagia dengan wanita lain.  Sungguh aku tak mampu membagi hal tersebut denganmu ma… aku tak ingin kamu merasakan luka hatiku, terlalu menyakitkan jika harus kuceritakan padamu. Aku tahu, takkan ada seorang ibu yang tega melihat anaknya terluka karena ditinggalkan oleh orang yang ia sayangi. Meski sebenarnya, aku sangat ingin menumpahkan segala rasa sakit ini dalam pelukanmu.
Ma… jangan khawatir, anakmu sedang belajar untuk menjadi lebih kuat, ia takkan hancur hanya karena suatu hal yang tak dapat meruntuhkannya. Ia akan selalu berusaha untuk bangkit setiap kali jatuh. Telah ia putuskan untuk meninggalkan luka yang pernah membuatnya tak berdaya. Hanya saja, jangan paksa ia untuk segera meninggalkan kesendirian saat banyak teman-temannya telah bahagia karena menemukan jodoh mereka. Bukan karena tak mau, melainkan karena kesendirian terkadang menjadi pilihan yang lebih baik baginya.


Ma… aku tahu, engkau sudah sangat ingin melihatku bahagia seperti mereka agar ada seseorang yang bisa menjagaku, menyanyangiku dengan tulus layaknya dirimu, sungguh akupun sangat merindukan seseorang itu, yang hingga saat ini masih Tuhan jaga sampai waktunya tiba nanti. Terkadang aku mulai lelah untuk menunggunya, seperti saat ini. Sungguh aku lelah harus berkali-kali berharap dengan mereka yang datang namun justru dengan mudahnya pergi begitu saja saat aku mulai membuka hati. Sepertinya bukan suatu masalah bagi mereka datang dan pergi dalam kehidupan orang lain dengan meninggalkan luka dimana-mana. Perlahan kepercayaaan dan harapanku mulai terkikis, begitu tipis asa yang tersisa, timbul tenggelam dalam lautan duka namun aku ingin terus percaya akan janji-Nya bahwa segala sesuatunya telah digariskan, bahwa perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Tuhan lebih tahu batas kemampuan umatnya, meski saat ini aku merasa begitu letih mungkin masih tersisa kekuatan hingga nanti Tuhan pertemukan aku dengannya.
Ma…aku sungguh menghargai jerih payahmu untuk mencarikanku seseorang, namun jika pada saat itu aku katakan ”tidak” atas pilihanmu, percayalah itu bukan berarti aku ingin membuatmu kecewa, hanya saja aku perlu waktu untuk menata hati dan kembali membangun kepercayaan terhadap seseorang, karena perih oleh luka kemarin masih terasa dan aku pikir tak perlu tergesa-gesa membuka hati daripada harus merasakan kecewa lagi. Kuharap kau bisa memahami, bukanlah hal yang mudah untuk kembali mencoba membuka diri kepada orang baru, rasanya terlalu lelah harus mengenal seseorang dari awal lagi.
Ma… seringkali aku merasakan sepi ini seperti ingin membunuhku secara perlahan-lahan, tapi… sepi juga memberiku ruang untuk melepaskan segala yang ku rasa, ia menjadi jeda saat penat. Aku sering menepi bersamanya, menumpahkan ribuan tetes air mata tanpa pernah takut akan rasa malu. Tiba-tiba saja, aku merasa akrab dengan kesepian. Biarlah untuk sesaat saja, izinkan aku menyendiri.
Ma… jika aku harus memelukmu atau menangis dihadapanmu, aku harap itu adalah pelukan dan tangisan bahagia bukan karena rasa sedih, kecewa, atau luka yang aku rasakan. Jika harus ada luka lagi, seperti yang sudah-sudah… cukuplah aku yang menanggungnya seorang diri.

Banjarbaru, 03.33 am
Jum’at, 9 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar