Senin, 16 Juni 2014

Jika nanti aku menjadi Ibu

Jika nanti saya telah menikah dan memiliki anak, saya ingin lebih banyak menghabiskan waktu dirumah. Berusaha menjadi sosok seorang ibu yang selalu ada untuk anak-anak saya. Saya ingin menjadi ibu yang pintar bagi mereka agar tak perlu repot-repot mencari orang lain untuk mengajari, semampunya saya akan berusaha untuk mendidik mereka dengan tangan saya sendiri. Memang sekolah adalah sarana belajar tapi bukankah sebelum anank-anak sekolah, tempat pertama mereka belajar adalah rumah dan seorang ibu merupakan pendidik awal bagi anak-anaknya kelak. Seorang ibu memiliki andil atau pengaruh yang besar terhadap kualitas seorang anak.
 
Jika ada yang menanyakan untuk apa perempuan sekolah tinggi-tinggi jika pada akhirnya menjadi ibu rumah tangga yang hanya mengurus suami dan anak, maka ketahuilah bahwa ilmu yang telah didapat sungguh takkan pernah sia-sia. Pernah mendengar cerita tantang almarhumah ibu Ainun? Ketika itu beliau dihadapkan pada sebuah pilihan antara terus bekerja atau mengurus anak, beliau akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja sebagai seorang dokter. Dan alasan dari keputusan beliau sungguh membuat saya sadar bahwa waktu yang kita habiskan bersama anak sungguh amat berharga. Mungkin dijaman sekarang, seorang istri yang ikut bekerja untuk membantu ekonomi keluarga merupakan hal yang lumrah, saya tidak bisa mengatakan hal tersebut salah karena keadaan tiap orang berbeda-beda, namun sunggguh  saya berharap semoga kelak Alllah karuniakan rizki yang cukup untuk keluarga saya agar tak perlu saya tukar waktu berharga bersama anak dengan bekerja mencari uang. Ya… mungkin dengan uang yang banyak, saya bisa saja memfasilitasi atau menyediakan 
segala  keperluan anak, seperti menggunakan jasa pengasuh untuk merawatnya, membayar pengajar privat atau apapun segala hal yang dapat digantikan orang lain. Kita bisa membayarnya dengan uang, tapi ingatkah? Bahwa ada satu yang tidak mampu kita beli atau tukar dengan uang yaitu waktu yang telah terlewat yang seharusnya bisa kita lewati bersama anak-anak. Bayangkan bagaimana perasaan seorang ibu jika yang lebih mengetahui kondisi anak justru orang lain daripada ibunya sendiri, atau saat seorang ibu menjadi orang kesekian yang mengetahui tumbuh kembang anak, ketika ia mulai bisa berjalan, memanggil mama, mengucapkan kata pertama. Relakah kita melewatkan senyum tawanya yang damai?
Oleh karena itulah mengapa saya ingin merawat, menjaga, mendidik mereka dengan sepenuh jiwa dan raga saya. Saya ingin menjadi orang pertama yang melihat setiap perkembangannya, memandikannya, menemaninya bermain, mendidik dan satu lagi… saya punya impian untuk menjadi orang pertama yang mengajarinya mengaji, mengenalkan huruf hijaiyah sambil mendengarkan ia mengeja, saya ingin ia mencintai Al-qur’an. Saya kira jika moment seperti ini harus dibayar dengan nilai mata uang, rasanya saya tidak menemukan nilai yang pantas karena ia tak dapat dibeli, waktu tak pernah dapat kembali sebanyak apapun kita sanggup membayar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar